26.7 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-6)

Baca Juga:

Tidak Melulu Menghafal.

Salah satu yang menarik Rohman untuk tetap memilih, atau bersikukuh di Pondok Al-Quran di Pajangan ini ada dua. Pertama kegemarannya bermain bola dapat disalurkan dengan baik. Kedua, di pondok ini ada juga ekstra memanah. Materi yang belum diperoleh waktu sekolah di MI dulu. Maka ketika 3 bulan awal, orang tua/wali tidak boleh menengoknya, kami mencari cari agar, minimal bisa melihat hidungnya Rohman meski dari kejauhan. Dapat ide. Lihat saat Rohman main bola. Karena bermainnya di luar pondok. Tidak jauh amat. 1-2 KM arah selatan. Lumayan jika jalan kaki.

Maka pagi itu, kami kompak untuk melihat Rohman saat main bola. Dari kejauhan. Dengan naik motor, boncengan. Membawa semangat 45 kami meluncur ke arah Pajangan Bantul. Setelah sebelumnya bertanya kepada musrif-nya kalau hari itu, jadwal main bola. Setahuku jadwal ekstra adalah Jumat, Sabtu dan Ahad. Kendati tidak semuanya digunakan untuk main bola.

Ahad pagi saya bersama ibunya Rohman kesana. Benar juga, di lapangan hijau yang lumayan jembar, sudah berkumpul puluhan santri main bola. Oh, ada pelatihnya. Belakangan saya tahu ternyata pelatihnya adalah mantan pelatih klub bola Juara Divisi Utama PSSI. Tahun-nya lupa.

“Wah, keren ini,” pikir saya. Sekelas pondok pesantren yang tidak serius ke arah olah raga bola bisa mengontrak pelatih kelas nasional.
“Itu Rohman, itu..itu..lari di depan gawang bawa bola,” teriak ibunya Rohman kegirangan. “Jangan keras-keras,” bisikku. Karena mulai aku lihat orang-orang di lapangan menengoknya. Khawatir Rohman tahu. Dia malah merajuk dan rewel. Cukup lihat dari kejauhan dan lihat anaknya sehat. Sudah senang. Tidak ada 10 menit kami berada di jauh pinggir lapangan, untuk melihat gerak-gerik Rohman yang memang lincah. Gesit. Meski badannya tergolong kecil untuk ukuran seusianya.

Tidak lama berselang kami balik kanan. Pulang. Lega. Meski beberapa pertanyaan masih sering menggelayut di benak, bagaimana kalau malam dia tidak bisa tidur, makan dan mandi harus antri. Tetapi pelan-pelan perasaan itu aku tepis, dengan banyak berserah diri kepada-Nya. Jadwal dari pondok, pelajaran hafalan intens setiap Senin-Kamis. Sedangkan untuk Jum’at-Ahad digunakan untuk ekstra tambahan.

Selain sepak bola ada bulu tangkis, saya pernah lihat lapangannya cukup bagus. Cat hijau lumut layaknya lapangan di Pusat Atlit bulu tangkis dikarantina di Cipayung.  Ada panahan, lokasinya di sebelah timur pondok. Tepatnya di kebun. Karena belum mempunyai tempat sendiri. Bagi yang suka bertani, pondok menyediakan lahan untuk latihan bertani bagi anak-anak.

“Kalau tidak di lapangan, anak atau santri biasa main bola di halaman pondok pak,” terang Pimpinan Pondok, Ust. Anto. Masih muda. Tinggi semampai. Usia kelihatan jauh di bawah usiaku. Tapi gelarnya sudah Lc, MA. Tentu sudah hafidz. Sedangkan aku?

“Ya,ya. Dilatih sendiri Tadz,?” tanyaku

“Tidak, kita ada pelatih, mantan pelatih nasional, kebetulan beliau sering ngaji dengan saya. Terus saya minta bantuannya untuk melatih anak-anak pondok. Alhamdulillah mau,” terang Ust. Anto yang cukup familiar dan egaliter. Aku bisa mengatakan demikian, karena di WA grup wali santri, Ust. Anto sering nimbrung, masuk bicara. Kadang guyonan. Bercanda. Tapi kalau sedang serius, ya serius. Karena selama ini aku melihat, beberapa pondok pesantren yang pimpinannya, susah untuk disentuh. Jangankan untuk bicara, ketemu saja prosedural banget. ( bersambung..)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!