28.2 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke- 68)

Baca Juga:

# Sehari bersama Rohman, Bagai Pelangi (1).

TIDAK begitu matang rencana kami untuk memutuskan, waktu itu Rohman harus pulang atau tetap saja tinggal di pondok di atas bukit itu. Karena sejatinya alasanya tidak begitu urgent. Maka keputusan Rohman mudik lumayan mepet dari hari-H acara keluarga kami. Dikatakan penting, karena hampir semua keluarga kumpul. Moment untuk bertemu dengan keluarga dekat yang biasa terjadi saat Idulfitri. Dikatakan kurang penting, karena tanpa kehadiran Rohman-pun acara tersebut tetap berjalan.
“Ya boleh, tetapi saat kembali, harus membawa surat sweb dan negatif,” kata pimpinan pondok, ketika kami malu-malu mengajukan ijin.
Kami paham karena di luar komunitas pondok, pasti nanti Rohman akan banyak bertemu dengan banyak orang, yang belum bisa dipastikan status kesehatannya.
“Siap, Tadz,” jawab kami. Dengan hati masih bimbang. Antara Rohman pulang dan tidak. Sehari 2 malam. Sangat singkat.
“Tapi dijanji, nanti di rumah, tidak main HP saja. Harus mau sosialisasi dengan saudara yang lain,” pesan istri saat aku mau berangkat jemput. Dan beberapa pesan lain yang tidak aku catat.

Pagi itu mentari bersinar cerah. Sabtu. Aku masih ingat benar. Karena saat akan aku jemput dapat kabar dari pondok kalau Rohman sedang sepak bola, ekstrakurikuler kesukaannya. Biasanya jam 10-an baru kelar. Maka aku ambil keputusan jam 10 dari rumah. Naik motor. Melintasi bukit dan hutan jati siang itu aku menyusuri jalan berkelok, naik turun. Jalan aspal yang sudah mulai ditambal kanan kiri. Karena mengelupas, digerus ganasnya air hujan. 45 menit sampai lokasi pondok.
Agak canggung aku memasuki pekarangan dan halaman pondok. Karena pasti hanya aku sendiri wali yang datang. Karena pondok masih memberlakukan aturan belum boleh menerima tamu. Termasuk wali. Namun berbekal ijin lisan pimpinan pondok aku beranikan diri memasuki pondok yang makin gagah itu. Masjid lantai 2 hampir selesai dibangun. Asrama santri tinggi menjulang. Aku juga melihat para tukang masih sibuk membangun sisi lain pondok tersebut.
Aku lihat Rohman di antara santri yang lain, berkerumun. Sementara yang lain aku lihat sibuk menghafal di serambi masjid. Beberapa di antara mereka, aku mengenalnya. Karena satu kelompok dengan Rohman. Tidak lama berselang, setengah berlari Rohman menuju ke arahku, dengan sarung dan kaos santainya.

“Kok masih pakai sarung le, belum siap?” tanyaku setelah berbasa-basi dengan Rohman. Hampir 3 bulan tidak ketemu fisik, aku perhatikan Rohman makin tinggi saja. Sedikit tambah gemuk. Padahal dalam hatiku yang paling dalam sempat mengkhawatirkan makannya yang susah. Namun dengan melihat body-nya sesaat, aku menyimpulkan Rohman tidak ada masalah dengan makannya.
“Ayo le, segera.” pintaku.
“Ijin dulu pak,” jawabku.
“Kan sudah, dulu,”
“Iya, ijin lagi, minimal pemberitahuanlah, kalau aku mau pulang,”
“Baiklah,”
Rupanya Rohman tidak ingin pergi tidak pamit. Tanpa diketahui pihak pondok. Bagus juga, pikirku. Setelah menunggu beberapa menit, Ustadz Agus Rohmanto, pimpinan Pondok keluar dari kamar-rumahnya. Dengan senyumnya yang khas.
“Ada apa mas?”
“Jadi ijin jemput Rohman Tadz,”
“Kembali sini, kapan?”
“Senin pagi tadz, habis subuh saya antar,”
“Baik, jangan lupa swab-nya,”
“Siap tadz,”
Kami berpamitan. Setelah Rohman berpamitan juga dengan guru (ustadz-nya). Masih tetap pakai sarung, Rohman naik di atas sadel motor. Tas kebanggaanya nangkring dipunggung. Nampak tidak begitu berat. Karena aku pesan tidak usah membawa pakaian terlalu banyak. Toh di rumah hanya sehari.
“Aku hanya bawa baju yang kekecilan pak, yang sudah tidak aku pakai di pondok,”
katanya, ketika aku bawa apa saja di tas.
Dengan teman-temannya di pondok aku mengangguk, tanda ijin bawa Rohman pulang sebentar. Dengan Pak Jimin kami cukup melambaikan tangan, karena agak jauh. Lagi pula pak Jimin sedang menjadi driver membawa pasir untuk pondok. Sementara aku dilhat dari kaca spion, Rohman nyengir dengan teman-temannya. Mungkin maksudnya pamit juga. Sampai di jalan utama, motor melaju lebih kencang. Ingin jamaah dhuhur di masjid kampung halaman. (bersambung )

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!