29.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-70)

Baca Juga:

# Baik-baiklah di Pondok, Nak.

Mendung menggantung akut dilangit. Diprediksi hujan akan deras. Membasahi bumi. Benar juga. Sore itu habis ashar, air bagai dimuntahkan dari langit. Nampaknya merata. Meski tidak lama. Namun hujan sore yang diwarnai kilat menyambar itu, terasa ikut membasahi hatiku. Meski tidak kuyub benar, namun terasa basah. Sebelumnya hati ini sempat gundah, mendengar kabar Rohman tidak mencapai target. Ada apa dengannya. Adakah masalah dengan teman-temannya, atau dengan ustadznya. Banyak pikiran bersliweran menganggu. Namun aku ademkan sendiri, dengan berpikir bahwa namaya anak pasti semangatnya naik turun. Jangankan anak, orang tua saja kadang, bahkan sering dihinggapi rasa malas.
Maka dalam waktu tiga menit, perasaan gundah, resah bahkan ada bau-bau marah, berubah menjadi empati. Kangen. Karena ternyata dampak tidak mencapai target bacaan tersebut kami tidak mendapatkan jatah phone. Ini yang membuat kepala nyut-nyut. Namun lagi-lagi perasaan galau itu aku coba tahan dan telan dengan banyak melakukan aktivitas. Makin aku mencoba melupakan Rohman, makin saya bayangannya mengikuti aku. Ketika sudah sampai pada titik kepasrahan yang dalam. Minggu ini tidak ada jatah phone untuk Rohman.Tiba-tiba HPku berdering.

“Pak…,”suara Rohman terdengar serak dari seberang phone. Aku kaget. Senang.
“Iya, kamu le…bagaimana sehat?”
“Sehat pak…”
Aku jadi lupa, kalau informasinya tidak mendapatkan jatah phone minggu ini. Tidak lama bicara di HP, ternyata aku ingat pesan itu. “Katanya gak dapat jatah phone…” kataku.
“Boleh kok,” jawabnya singkat. Tapi aku tidak ingin dicap sebagai orang tua/wali yang tidak tahu diri, maka aku tidak perpanjang obrolan support lewat HP tanpa wajah alias non-VC itu.
Aku sudah merasa senang. Namun disudut hati yang dalam aku merasa bersalah. Meski tidak seratus persen.

Namun yang aku heran. Suara Rohman di phone terasa sangat kentara: parau. Mau menangis. Ada ada? Belum dapat jawaban yang jelas. Phone sengaja kami akhiri, karena takut alasan tadi. Tidak biasanya Rohman menangis. Meski tidak deras air matanya. Biarlah itu bagian dari pendewasaan diri, jauh dari orang tua. Mandiri di atas Bukit Pajangan. Doaku dalam hati, tiada henti, “baik-baik disana nak,” (Sekian)

<sebelumnya berikut>

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!