JAKARTA, MENARA62.COM—Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merespons kondisi kekinian yang terjadi, terutama setelah berjalannya persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif, banyak pihak saling melapor ke polisi.
Di satu sisi, kondisi ini menimbulkan kebingungan di masyarakat. Dikhawatirkan banyak masyarakat yang takut untuk melaporkan suatu tindak pidana, apalagi menjadi saksi di persidangan karena berpotensi diancam hingga dilaporkan balik.
LPSK sebagai lembaga yang bertugas melindungi hak-hak saksi dan korban sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban, merasa perlu untuk menghadirkan pemahaman bagi masyarakat akan pentingnya posisi saksi dan atau pelapor dalam pengungkapan suatu tindak pidana.
“Setiap warga negara yang mengetahui adanya tindak pidana wajib untuk melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Namun, ternyata ada risiko yang harus dihadapi, misalnya, pelapor malah dilaporkan balik. Selain dilaporkan, ada pula intimidasi, bahkan ancaman pembunuhan,” kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam Press Conference bertema ”Saksi, Pelapor, dan Itikad Baik, di Gedung LPSK, Jakarta, hari ini.
Ini menunjukkan posisi pelapor atau para saksi dalam kondisi rentan dan kurang kondusif bagi para saksi. Di sisi lain, saksi pelapor harus memberikan keterangan yang sebenarnya. “Dalam proses pengambilan keterangan atau kesaksian tersebut tidak boleh ada tekanan. Saksi pelapor pun harus memiliki itikad baik untuk memberikan keterangan yang sebenarnya. Negara sendiri juga sudah mengaturnya dan memberikan perlindungan pada saksi pelapor dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban,” kata Abdul Haris Semendawai kepada Menara62.
Pada awal 2017 ini, LPSK sudah menerima 70 permohonan perlindungan saksi dan korban. Saksi dan korban harus mendapatkan perlindungan mengacu pada perundang-undangan. Dengan begitu, tidak lagi menimbulkan rasa takut, cemas, dan kekhawatiran dalam memberikan keterangan yang sebenarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Justice Criminal Reform (IJCR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, situasi ini memang menakutkan bagi saksi atau korban yang melapor. “Saksi menjadi takut untuk memberikan kesaksian karena adanya kekhawatiran serangan balik,” katanya. Oleh sebab itu, alat bukti, seperti bukti forensik, dan lainnya dapat menjadi penguat keterangan saksi. Di samping hakim yang dapat lebih aktif dan memastikan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang sebenar-benarnya. Sehingga tidak ada lagi peradilan sesat dalam situasi saksi memberikan keterangan palsu atau dipaksa memberikan keterangan tidak sebenarnya.