29.2 C
Jakarta

Kemenperin: IKI Mei 2023 Capai 50,9, Industri Masih Optimis 

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Perlambatan ekonomi global yang terjadi sejak akhir tahun 2022, kenaikan suku bunga, dan penurunan harga komoditas produk utama ekspor mulai berdampak pada daya beli konsumen dalam negeri. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Indeks Ekspektasi Penjualan tiga bulan ke depan (triwulan kedua). Hasil Survei Penjualan Eceran BI bulan April 2023 hanya sebesar 129,8, lebih rendah 24,38 poin dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Kondisi tersebut mempengaruhi nilai Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Mei 2023 yang ekspansinya semakin melambat. 

“Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Mei 2023 mencapai 50,9. Tetap ekspansi, meskipun melambat 0,48 poin dibandingkan April 2023,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif saat menyampaikan rilis IKI Mei 2023 di Jakarta, Rabu (31/5).

Perlambatan IKI bulan Mei 2023 ini dipengaruhi oleh penurunan IKI beberapa subsektor industri, dari semula ekspansi menjadi kontraksi. Hal tersebut antara lain terjadi pada subsektor Industri Pengolahan Tembakau, Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Industri Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman, Industri Farmasi, Obat Kimia, dan Tradisional, dan Industri Logam Dasar. Akibatnya, share subsektor ekspansi terhadap PDB Industri Pengolahan Nonmigas triwulan pertama tahun 2023 menurun menjadi 70,6%. Share tersebut berasal dari 12 subsektor yang mengalami ekspansi.

Febri menjelaskan, penurunan IKI disebabkan oleh kontraksi beberapa subsektor yang memiliki share PDB cukup besar, setelah sebelumnya mengalami ekspansi, misalnya seperti Industri Logam Dasar dan Industri Pengolahan Tembakau. Kedua, melandainya ekspor karena penurunan harga komoditas dan melemahnya nilai tukar rupiah. “Ketiga, masih terdapatnya stok persediaan dari bulan April karena terjadinya penurunan daya beli masyarakat selama Lebaran, tidak seperti pada tahun sebelumnya,” ujar Febri.

Meskipun demikian, beberapa subsektor dengan share PDB terbesar masih mengalami ekspansi, yaitu Industri Makanan, Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia dan Industri Kendaraan Bermotor, Trailer dan Semi Trailer. “Untuk Juni 2023, Kemenperin optimis IKI akan naik kembali,” Febri menambahkan.

Jika dilihat lebih detail, penurunan nilai IKI Mei 2023 terjadi karena penurunan nilai variabel Pesanan Baru sebesar 0.73 poin (menjadi 49.84) dan variabel Produksi yang menurun 2.07 poin (menjadi 50.01). Di sisi lain, variabel Persediaan mengalami kenaikan 2.67 poin (menjadi 54.90). Kondisi ini menunjukkan terjadinya penumpukan stok persediaan, sehingga perusahaan mengurangi produksi, di samping terjadinya penurunan pesanan. Pesanan domestik masih menjadi faktor dominan yang mempengaruhi indeks variabel Pesanan Baru.

 “Mayoritas pelaku usaha menyatakan kondisi usaha secara umum di bulan Mei 2023 stabil, yaitu sebanyak 44.8% dan 28,1% menjawab kondisi kegiatan usahanya meningkat dibanding dengan bulan April 2023,” Febri menambahkan. Kondisi tersebut memang sedikit menurun dibandingkan bulan April 2023, namun tingkat optimisme pelaku usaha akan kondisi enam bulan ke depan meningkat signifikan.

Di bulan Mei, pandangan terhadap kondisi usaha enam bulan ke depan tercatat sebesar 66.2% pelaku usaha lebih optimis. Angka ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 64.7%, dan menjadi angka tertinggi sejak IKI diluncurkan. Mayoritas responden yang menjawab optimis menyampaikan keyakinannya akan kondisi pasar akan membaik dan kepercayaannya karena kebijakan pemerintah pusat yang lebih baik. Sedangkan 9,0% pelaku usaha masih pesimis dengan kondisi usaha enam bulan ke depan. Angka ini juga merupakan nilai terendah sejak peluncuran IKI pada November 2022.

“Jika dilihat nilai IKI per subsektornya, IKI Industri logam dasar pada bulan Mei menjadi terkontraksi, setelah sebelumnya selalu dalam tahap ekspansi. Kondisi ini dipengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia di triwulan pertama tahun 2023 yang sebesar 2,8%, atau menurun 0,5% dari tahun 2022 (3,3%) dan penurunan harga komoditas produk logam. Di samping itu, tidak beroperasinya salah satu perusahaan besar di bidang logam mengakibatkan rantai supply industri logam dasar ini terganggu sehingga mengalami kontraksi,” jelas Direktur Industri Logam Kemenperin Liliek Widodo. 

Kondisi serupa terjadi pada Industri Pengolahan Tembakau yang pada bulan Mei terkontraksi setelah sebelumnya selalu dalam tahap ekspansi. Hal ini dikarenakan penurunan penjualan rokok golongan I (SKM dan SPM) meskipun penjualan rokok SKT mengalami peningkatan 20%. Sebagaimana diketahui rokok golongan I merupakan produk utama di kelompok industri ini. Kemenperin memperkirakan produksi di bulan Juni akan kembali naik. 

Terkait Industri Tekstil, Indeks Keyakinan Konsumen-BI bulan April mengalami peningkatan, sehingga meskipun masih terkontraksi, Industri Tekstil, Produk Tekstil dan Alas Kaki masih terdorong produksinya dengan adanya momentum Hari Raya. Meski demikian, subsektor ini sangat rentan terhadap kondisi pasar Uni Eropa, sehingga kenaikan inflasi dan suku bunga yang terjadi di Uni Eropa menyebabkan konsumen menahan pembelian. “Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara-negara seperti Bangladesh, Vietnam dan Thailand. Terkait dengan kondisi ketiga subsektor tersebut yang selama ini masih terkontraksi, Kemenperin telah melakukan business matching di Amerika Serikat dan berupaya menjaga konsumsi dalam negeri,” ujar Direktur Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan.

Terkait industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional yang mengalami kontraksi, Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, Saiful Bahri menjelaskan, pangsa pasar produk ini cukup sensitif dan produksinya telah dioptimalkan pada bulan sebelumnya. Selain itu, pasar produk ini didominasi oleh pemerintahan. Terjadinya perubahan pada proses pelayanan di Rumah Sakit (RS) dengan diterapkannya sistem integrated e-prescription mengakibatkan pasien rawat jalan hanya akan memperoleh obat dari instalasi farmasi RS tersebut. Hal ini berdampak pada penurunan penjualan retail di apotek/toko obat sehingga memberikan pengaruh pada penurunan pesanan baru subsektor ini. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!