Meski mulai akrab didengar, kata Perbankan Syariah, namun untuk mengenal lebih jauh bahkan terlibat di dalamnya, tampaknya belum banyak dilakukan masyarakat. Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Sulawesi Selatan, Norcholis pada 2011 pernah mengakui jika perkembangan perbankan Syariah di Provinsi Sulawesi Selatan masih kurang baik dan sulit.
Dalam sistem perbankan di Indonesia terdapat dua macam sistem operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum Islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram.
Selain itu, UU Perbankan Syariah juga mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan fungsi seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya, dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).
Masalah pemenuhan prinsip syariah memang hal yang unik bank syariah, karena hakikinya bank syariah adalah bank yang menawarkan produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Kepatuhan pada prinsip syariah menjadi sangat fundamental karena hal inilah yang menjadi alasan dasar eksistensi bank syariah. Selain itu, kepatuhan pada prinsip syariah dipandang sebagai sisi kekuatan bank syariah. Dengan konsisten pada norma dasar dan prinsip syariah maka kemaslhahatan berupa kestabilan sistem, keadilan dalam berkontrak dan terwujudnya tata kelola yang baik dapat berwujud.
Sistem dan mekanisme untuk menjamin pemenuhan kepatuhan syariah yang menjadi isu penting dalam pengaturan bank syariah. Dalam kaitan ini lembaga yang memiliki peran penting adalah Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kewenangan kepada MUI yang fungsinya dijalankan oleh organ khususnya yaitu DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa kesesuaian syariah suatu produk bank.
Kemudian Peraturan Bank Indonesia (sekarang POJK) menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh ijin dari OJK. Pada tataran operasional pada setiap bank syariah juga diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang fungsinya ada dua, pertama fungsi pengawasan syariah dan kedua fungsi advisory (penasehat) ketika bank dihadapkan pada pertanyaan mengenai apakah suatu aktivitasnya sesuai syariah apa tidak, serta dalam proses melakukan pengembangan produk yang akan disampaikan kepada DSN untuk memperoleh fatwa.
Selain fungsi-fungsi itu, dalam perbankan syariah juga diarahkan memiliki fungsi internal audit yang fokus pada pemantauan kepatuhan syariah untuk membantu DPS, serta dalam pelaksanaan audit eksternal yang digunakan bank syariah adalah auditor yang memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang syariah.
Hambatan
Namun, Antara melansir, sampai saat ini banyak hal yang menjadi faktor penghambat perkembangan Bank Syariah Indonesia, sehingga perbankan yang menjunjung slogan “bertransaksi tanpa riba” itu pun, belum mampu mencapai target yang dibebankan pada setiap tahunnya.
Salah satu kendala yang dirasakan saat itu, masih minimnya sosialisasi pihak terkait soal keunggulan produk yang membedakan dengan sistem perbankan konvensional yang selama ini sudah dikenal oleh nasabah dibandingkan dengan cara syariah.
Berselang kurang lebih tujuh tahun terakhir pada 2018 ini, pengenalan sistem syariah bisa dikatakan telah mengalami perkembangan meski belum signifikan seperti yang diharapkan.
Perbankan syariah masih mengalami kesulitan untuk bisa merebut hati nasabah menjadi pilihan mereka dalam melakukan transaksi, meskipun sebenarnya sudah dilirik dan memiliki prospek cerah beberapa tahun ke depan.
Sikap pantang menyerah dan rasa optimisme yang tinggi dari pihak perbankan juga menjadi suntikan energi baru bagi perbankan syariah agar bisa terus tumbuh. Upaya nyata juga terus dilakukan pihak perbankan untuk mendongkrak dan mengangkat potensi perbankan syariah yang begitu besar, termasuk upaya terbaru yang cerdas dengan menggandeng para mubaligh untuk meningkatkan literasi keuangan syariah.
Selama ini, tingkat literasi perbankan syariah di daerah tersebut memang masih rendah sehingga memerlukan upaya untuk bisa lebih dikenal.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wilayah 6 Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) telah melakukan pelatihan bagi mubaligh sebagai persiapan agar mereka bisa membantu untuk menyampaikan ke masyarakat.
Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK 6 Sulampua Dani Surya Sinaga, menyebut keterlibatan para mubalig penting untuk menyampaikan produk dan layanan perbankan syariah beserta keunggulanna sehingga diharapkan akan membuat Keuangan syariah semakin berkembang positif.
“Para mubalig kami harapkan bisa menyelipkan dalam setiap ceramahnya,” katanya tentang pentingnya layanan keuangan syariah,”
Sebagai provinsi dengan penduduk mayoritas Muslim serta memiliki karakteristik religius, mubalig memiliki peran penting untuk ikut menyampaikan tentang keunggulan sistem keuangan syariah kepada masyarakat.
elalui kegiatan pelatihan bagi pelatih yang dilakukan, maka diharapkan akan memberikan efek positif bagi perkembangan perbankan syariah.
Pihak OJK juga sudah mendorong para mubaligh dengan memberikan buku untuk literasi syariah, namun memang hasilnya belum begitu memuaskan, sehingga melalui pelatihan yang diikuti ahli agama ini diharapkan dapat lebih efektif.
OJK Regional VI Sulampua bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti lembaga keuangan syariah, masyarakat ekonomi syariah, Bank Indonesia termasuk pemerintah daerah melalui TPAKD.
“Secara khusus, upaya kampanye keuangan syariah akan terus kami galakkkan. Kami akan melibatkan seluruh pihak termasuk dari Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) provinsi untuk meningkatkan indeks literasi dan inklusi keuangan syariah,” ujarnya.
Lampaui Konvensional
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 6 Sulawesi, Maluku, Papua (Sulampua) mencatatkan industri perbankan syariah di Sulawesi Selatan lebih tinggi dari konvensional pada posisi April-Mei 2018.
Zulmi mengatakan, untuk masalah aset perbankan syariah misalnya, berhasil mencatatkan pertumbuhan 5,84 persen yoy dengan nominal Rp7,20 triliun.
“Angka itu lebih tinggi dibanding pertumbuhan aset perbankan konvensional 1,98 persen year-on-year dengan nominal Rp128,75 triliun,” katanya.
Begitupun dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah bahkan mencatat pertumbuhan double digit 14,2 persen yoy dengan nominal Rp4,44 triliun.
Peningkatan perbankan syariah tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan aset perbankan konvensional yang baru mencapai 4,30 persen year-on-year (yoy) dengan nominal Rp83,46 triliun.
Namun di sisi lain, kredit yang disalurkan perbankan syariah itu peningkatannya hanya sebesar 1,79 persen yang relatif kecil jika dibandingkan total dari DPK.
Sementara data pada Mei, mencatat pertumbuhan aset industri perbankan syariah berada di angka 7,40 persen pertahun dengan nominal Rp7,29 triliun. Angka ini dilihat lebih tinggi dari aset perbankan konvensional yang hanya 0,01 persen year-on-year dengan niminal Rp128,93 triliun.
Sejalan dengan itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah bahkan mencatat pertumbuhan “double digit” yakni 12,40 persen pertahun dengan nominal Rp4,49 triliun.
Data ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan DPK bank konvensional yang hanya 3,26 persen pertahun dengan nominal Rp84,64 triliun.
Terkait peningkatan perbankan syariah dikarenakan sejumlah faktor termasuk layanan yang maksimal serta produk bank syariah yang semakin bervariasi.
“Ada sejumlah faktor yang membuat perbankan syariah bisa terus meningkat bahkan melampai konvensional seperti yang ditunjukkan data per Mei 2018 yakni layanan maksimal serta produk bank syariah yang semakin bervariasi sesuai kebutuhan pelanggan,” sebut dia.
Dari segi layanan juga sudah sama dengan apa yang diberikan bank konvensional.
Selain itu, hal yang juga membuat posisi perbankan syariah lebih bergairah yakni terkait pemahaman masyarakat yang dinilai semakin baik terhadap perbankan syariah.
Kondisi itupun yang membuat semakin banyak yang menggunakan bank syariah baik untuk menempatkan dananya atau berinvestasi maupun untuk mendapatkan modal usaha.
Dorongan Pemerintah
Upaya tersebut mendapat dorongan dari Pemerintah(Pemprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk bersama-sama dengan semua pihak yang terkait dalam meningkatkan kinerja perbankan syariah di wilayah tersebut.
PLT Sekretaris Daerah Sulsel selaku Koordinator Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah Tautoto TR mengatakan penduduk mayoritas beragama Islam seharusnya keuangan syariah bisa lebih berkembang, namun kenyataannya produk syariah justru kalah dibanding beberapa negara lain.
“Seperti Thailand yang sudah bercita cita untuk menjadi ‘halal of the world’. Tiongkok menjadi penyuplai fashion Syariah, Australia penyuplai daging halal serta Korea Selatan yang fokus mengampanyekan pariwisata halal,” katanya.
Melihat fenomena yang terjadi, kata dia, maka sudah keharusan bagi semua pihak untuk dapat mengambil peran dalam pengembangan ekonomi Syariah khususnya di wilayah Sulawesi Selatan.
Menurut dia, potensi uang dari luar yang masuk ke Sulawesi Selatan itu begitu besar, namun menghadapi tantangan untuk menciptakan upaya yang lebih jita untuk mengajak masyarakat agar bersedia menyimpan uang di bank syariah.
Sebuah pertanyaan sederhana bisa diajukan ke diri masing-masing, sudahkah kita memiliki rekening di bank syariah?