31.3 C
Jakarta

Wajah, Cermin Diri Seseorang

Baca Juga:

Dalam pergaulan sehari-hari, tentu kita menjumpai banyak model dan ‎ragam wajah seseorang. Ada wajah yang tampak selalu ceria. Ada wajah yang ‎meneduhkan dan menyejukkan jika dipandang. Ada wajah yang penuh ‎kharisma dan kewibawaan. Ada wajah yang tampak kusut seolah tak pernah ‎dihiasi senyuman. Bahkan ada wajah yang jika kita menatapnya akan ‎memunculkan rasa takut.‎

Mengapa wajah setiap orang berbeda? Apa yang mempengaruhi raut ‎wajah setiap orang itu?‎

Tentu, ada banyak jawaban bisa dikemukakan atas dua pertanyaan ‎tersebut. Bahkan, setiap orang bisa jadi memiliki beragam jawabannya. Tetapi, ‎dalam tulisan ini saya ingin memberikan sebuah jawaban berdasarkan ‎pengalaman pribadi. Jawaban yang didapat dari perjalanan hidup selama ini, juga dari banyak ‎keterangan yang pernah dibaca dari sejumlah literatur. Jawaban yang di‎maksud adalah tampilan raut wajah seseorang. Itu cerminan apa yang ‎ada di dalam hatinya.‎

Jika seseorang itu hatinya penuh dengan perasaan positif, maka selalu ‎tenang dalam menyikapi setiap persoalan yang datang menghadang. Ia tidak ‎pernah menyimpan rasa iri, dengki, amarah, dendam dan segala penyakit hati ‎lainnya, maka bisa dipastikan raut wajahnya memancarkan cahaya kemuliaan. Wajah itu ‎penuh kharisma, meneduhkan jika dipandang, menyejukkan jika ditatap, ‎membahagiakan jika dilihat. Inilah wajah yang menunjukkan kematangan ‎jiwa. Inilah wajah yang penuh aura positif. Inilah wajah yang mendapat ‎pancaran Ilahi.‎

Sebaliknya, jika seseorang itu hatinya dipenuhi oleh perasaan negatif, ‎syak wa sangka, menghadapi setiap persoalan yang hadir dalam hidupnya ‎dengan keluh kesah, purba sangka, curiga, serta selalu memendam rasa iri, ‎dengki, amarah, dendam, dan beragam penyakit hati lainnya, maka sudah ‎pasti wajahnya jauh dari pancaran cahaya Tuhan, tak tampak sedikit pun rona ‎kebahagiaan apalagi keteduhan dan kesejukan. Yang tampak hanyalah wajah ‎penuh amarah, kebencian, serta diliputi beragam persoalan hidup.

Ketika kita ‎memandangnya, tak terlihat sedikit pun aura positif dari wajahnya. Ketika kita ‎menatapnya, tak tampak sedikit pun pancaran sinar ilahi. Inilah wajah yang ‎menunjukkan kegamangan, kegalauan serta ketidaknyamanan. Inilah wajah ‎yang menampakkan kekerdilan jiwa. Inilah wajah yang jauh dari cahaya ‎Tuhan.‎

Sesekali cobalah kita bercermin dan tatap wajah kita dalam-dalam. ‎Termasuk dalam kategori yang manakah wajah kita ini? Apakah wajah yang ‎cerah, penuh aura positif, diliputi rona kebahagiaan, memancarkan cahaya, ‎menunjukkan keteduhan, ketenangan jiwa, ataukah justru wajah yang penuh ‎angkara murka, menyimpan rasa iri, dengki, dendam, serta segala perangai ‎buruk lainnya?‎

Islam mengajarkan umatnya untuk menyucikan wajah dengan ‎membasuhnya ketika berwudlu. Ini makna suci secara lahiriah. Adapun makna ‎suci secara batiniah, yaitu seperti yang banyak dijelaskan dalam karya ulama-‎ulama tasawuf (para sufi) melalui sejumlah karyanya, yakni menghindarkan ‎segala pandangan yang diharamkan Allah, menjauhi segala ucapan yang tidak ‎bermanfaat, lebih-lebih jika ucapan itu justru menghadirkan mudharat ‎‎(bencana), seperti: menggunjing (ghibah), fitnah, adu domba (namimah), ‎serta segala ucapan yang menyakiti perasaan orang lain.‎

Wajah yang cerah, berseri penuh pancaran sinar ilahi hanya akan bisa ‎didapatkan ketika hati sang pemilik wajah itu bersih dan tenang. Imam al-‎Ghazali menyatakan bahwa hati itu ibarat cermin yang akan memancarkan ‎cahaya, jika cermin itu bersih. Semakin bersih sebuah cermin, semakin terang ‎cahaya yang akan dipancarkan. Semakin kotor sebuah cermin, semakin redup ‎cahaya yang akan dipancarkan.‎

Mengutip pendapat Imam al-Ghazali tersebut, penulis ingin ‎menyatakan bahwa wajah adalah cermin dari isi hati seseorang. Semakin ‎bersih hati seseorang, semakin memancarlah cahaya wajah orang tersebut. ‎Semakin kotor hati seseorang, maka semakin redup pula pancaran cahaya di ‎wajahnya.‎

Ruang Inspirasi, Selasa (7/7/2020).

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!