JAKARTA, MENARA62.COM – Komisi XI DPR RI telah menyelenggarakan Rapat Kerja bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Kamis (12/11/2020) di Jakarta. Rapat kerja dengan topik Progres Realisasi Pelaksanaan APBN Perpres 72/2020, Progres Realisasi Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan ini berjalan selama 7 jam.
Dalam rapat kerja ini, anggota komisi XI DPR RI dari fraksi PKS, Anis Byarwati menyampaikan catatan kritisnya. Hal pertama yang dikritisi Anis mengenai realisasi serapan dana program PEN, dimana Menkeu menyampaikan sampai pertengahan November 2020 serapannya baru mencapai 55,1% atau sebesar Rp 383,01 triliun dari pagu anggaran sebesar Rp 695,2 triliun. Hal ini berarti, sampai akhir tahun atau dalam waktu dua bulan, ada sekitar Rp 312,01 trilyun dana yang harus diserap oleh pemerintah.
Dari enam kluster program, kata Anis, hanya ada dua kluster yang penyerapannya di atas 50%, yaitu kluster Perlindungan Sosial dengan serapan sebesar 77,3% dan kluster Dukungan UMKM dengan serapan sebesar 82,9%. Kemudian terdapat satu kluster yang serapan anggarannya baru 3,2% atau sebesar Rp 2,001 triliun dari pagu sebesar Rp 62,22 triliun, yaitu kluster Insentif Korporasi. Sementara untuk sektor Kesehatan yang merupakan pemicu krisis saat ini, serapannya masih rendah dibawah 50% yaitu sebesar 35,1%.
“Kondisi ini sangat disayangkan. Padahal, sebagai leading sektor dalam pandemi ini seharusnya ada strategi tepat dan jelas dalam penggunaan anggaran kesehatan. Faktor Kesehatan ini bukan hanya menurunkan kasus Covid-19, tetapi juga berdampak signifikan pada pemulihan ekonomi. Karena ekonomi tidak akan pulih sepenuhnya jika Covid-19 terus bertambah,” ujar Anis.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyoroti serapan yang rendah pada kluster Insentif usaha yang baru terserap 31,6% atau sebesar Rp 38,13 Triliun dari pagu Rp 120,61 Triliun. Jika dirinci, program ini terdiri dari sejumlah pelonggaran pajak bagi pelaku usaha. Meliputi Pph Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan pajak import Pph Pasal 22, pengurangan angsuran Pph Pasal 25, pengembalian pendahuluan PPN, penurunan tarif Pph Badan dan stimulus lainnya. Sementara disisi lain, dunia usaha sendiri saat ini tengah lesu karena pandemi Covid-19.
“Lesunya dunia usaha, menjadikan insentif ini kurang dimanfaatkan sehingga akibatnya daya serapnya sangat rendah. Bahkan para analis menyebutkan bahwa stimulus ini seperti tidak relevan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Insentif diberikan sementara dunia usaha yang diberikan insentif tersebut sedang lesu. Ini menjadi catatan yang harus diperhatikan bersama,” kata Anis.
Ahli ekonomi Islam dari Universitas Airlangga ini menegaskan bahwa secara keseluruhan, rendahnya realisasi PEN ini menjadi permasalahan besar.
“Menurut saya, sebagaimana diungkapkan sebagian kalangan bahwa pemerintah tidak hanya dianggap gagal menggunakan toolsnya untuk menangani penyebaran pandemi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, (karena serapan 52% dianggap belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi), tetapi juga pemerintah mendorong opportunity loss yang sangat besar dari beban hutang dimasa depan,” tegas Anis.
Untuk menjalankan Program PEN ini, pemerintah harus menggelembungkan defisit anggaran hingga di atas 5%. “Apabila hutang sudah direalisasikan tapi anggarannya tidak digunakan, maka akan ada miss opportunity anggaran yang sangat besar. Karena itu, pemerintah harus melakukan identifikasi akar masalah terkait lambatnya serapan dana PEN itu,” pungkasnya.