28.9 C
Jakarta

Takmir Masjid dan Kesejahteraan Marbot

Baca Juga:

Oleh: Ashari, S.IP)*

Beberapa edisi yang lalu, diangkat tentang kesejahteraan Marbot (urusan rumah tangga) masjid yang minim. Jauh dari layak. Apalagi UMP (Upah Minimum Propinsi). Saya berpikir ternyata masalahnya merata. Hampir di semua masjid kita mengalami hal yang sama. Bahkan juga tidak sedikit masjid yang tidak memiliki perangkat marbot, akibatnya hanya ditangani oleh takmir secara sambil lalu, maka hasilnyapun dapat ditebak. Tidak maksimal

Masjid yang dikelola secara professional masih dapat dihitung dengan ibu jari. Jika memang permasalahan sudah me-nasional, mengapa tidak ada solusi manjur yang dapat mengurai benang kusut  ini. Akibatnya masjid-masjid kita berjalan divtempat. Memang harus diakui juga bahwa geliat pembangunan masjid makin nampak. Secara fisik tampilan dan ornament masjid makin gagah. Bahkan tidak jarang satu desa mempunyai 2 masjid. Hingga muncul pepatah, di samping masjid ada masjid. Namun bagaimana dengan kesejahteraan pegawainya, bagaimana dengan kemakmuran jamaahnya? Semua masih menjadi tanda tanya besar bagi kita semua.

Maka sudah selayaknya dan seharusnya takmir masjid yang pegang kendali melakukan koreksi berjamaah apa yang sudah dilakukan terhadap kemakmuran masjid. Selama ini saya menangkap ada beberapa catatan kesalahan yang dibuat takmir masjid kita, namun mungkin tidak terasa, sehingga terus saja berjalan dalam durasi waktu yang lama. Kesalahan-kesalahan itu adalah:

Pertama : Tidak mau diganti. Miskin regenerasi. Hal ini bisa terjadi karena dua hal, pertama karena memang susah mencari pengganti, kedua, mereka tidak memberikan ruang kepada yang muda-muda untuk tampil ke depan.Fenomena takmir dengan jabatan selamanya ini membuat organisasi yang ada didalamnya, termasuk manajemen keuangan menjadi susah dikontrol. Jamaah tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi akurat tentang penggunaannya. Akibatnya muncul kasak-kusuk diantara jamaah, rasa tidak percaya kepada takmir. Lebih parah lagi kalau, takmir masjid disusun berdasarkan nepotisme keluarga, tetangga atau koncoisme. Seolah takmir adalah menara gading yang susah dijangkau oleh jamaah atau anak muda yang siap menggantikannya.

Kedua. Menganggap takmir adalah kedudukan untuk meraih prestise. Kalau sudah ini menjadi motivasi utamanya, maka jelas dalam sepak terjang keseharian tidak lagi dilandasi oleh keikhlasan yang dalam. Karena yang dituju ketika bercita-cita menjadi takmir masjid adalah prestise. Wah. Senang dipuji, sakit hati jika apa yang dilakukan tidak diketahui oleh orang lain, atau kalaupun toh tahu, tak dianggapnya. Karena dianggap sebagai kedudukan, maka mereka/kita akan berusaha untuk mempertahankannya dengan segala cara. Tidak peduli cara-cara yang tidak diridhoi Allahpun ditempuhnya.Sogok sana sini, sikut sana sini, yang penting tujuan akhir tetap menjadi takmir.

Ketiga. Menumpuk infaq/sadaqoh. Kita beranggapan kalau makin banyak infaq atau sadaqoh maka semakin sukses takmir itu.  Tanpa memperhatikan kegunaannya. Tidak mau tahu berapa yang harus dikeluarkan untuk kepentingan marbot, sarana dan prasarana yang harus dibeli demi lancarnya ibadah. Jika ada yang usul untuk beli ini itu untuk kepentingan masjid, langsung pasang muka cemberut tanda tidak setuju.

Kempat. Merasa diri paling benar. Ini yang tidak sengaja sering menghinggapi diri kita, ketika berada pada posisi puncak/atas. Tidak lagi mau menerima masukan dari orang lain. Kalau ini sudah menghinggapi diri kita sebagai takmir, maka akan merasa alergi dengan yang namanya suksesi. Pergantian. Padahal selain kita, sesungguhnya masih banyak yang mampu menggantinya dengan kualitas yang lebih baik dan dinamis. Namun karena hati sudah dibalut rasa ego yang tinggi, maka kita anggap orang lain tidak mampu. Selalu salah. Padahal selama kita pegang, kalau mau jujur tidak ada kemajuan yang signifikan.

Agar masjid menjadi maju dan berkembang, maka tidak ada cara lain, kecuali pergantian takmir dibuat secara berkala dan berkelanjutan dengan melibatkan semua komponen jamaah yang ada. Dengan demikian aspirasi dapat tertampung, geliat kegiatan yang bersifat keagamaan, social dan ekonomi dan berjalan. Karena mereka saling topang dan bahu. Tidak lagi ada rasa saling curiga, terlebih karena keuangan makin terbuka. Wahai para takmir masjid sadarlah. Sekian.

*Penulis adalah Takmir Masjid Al-Hidayah Murangan 7/ Rt/4/22 Triharjo Sleman.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!