25.6 C
Jakarta

BKKBN: Persoalan Stunting Tinggi di NTT, Tanggung Jawab Bersama

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Nusa Tenggara Timur yang menjadi salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi menjadi fokus utama dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). BKKBN menggencarkan program percepatan penurunan stunting bersama kolaborasi Sekretariat Wakil Presiden, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri serta Bappenas.

“Saya yakin dengan fokus kepada konvergensi tingkat desa sangat menentukan penerimaan paket manfaat kepada keluarga beresiko stunting. Oleh karena itu pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting atau TPPS dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga kelurahan atau desa harus disegerakan. Keberadaan TPPS di semua tingkatan pemerintahan sangat membantu pencapaian target penurunan angka stunting,” ungkap Kepala BKKBN Dr. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K) dalam keterangannya, Jumat (4/3/2022).

Menurut Kepala BKKBN yang juga Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional ini, kecenderungan rata-rata penurunan stunting di Indonesia sejak tahun 2015 hingga 2019 berkisar 0,3 persen. Sementara target penurunan stunting dari tahun 2020 hingga 2024 harus berkisar di angka 2,5 persen. Angka stunting 14 persen yang menjadi target nasional di 2024 diyakini akan tercapai termasuk kontribusi dari Nusa Tenggara Timur.

Untuk lebih memperkuat koordinasi dan kesepahaman tentang mekanisme tata kerja, pemantauan, pelaporan, evaluasi dan skenario pendanaan stunting di daerah, BKKBN yang diberi tugas Presiden Jokowi sebagai “pengendali” pencegahan stunting di tanah air menggelar sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Indonesia (RAN PASTI) di Kupang pada hari Jumat, 4 Maret 2022 ini.

“Yang tidak kalah pentingnya adalah, RAN PASTI di NTT hendaknya melibatkan insan cendekia yang berasal dari kalangan perguruan tinggi yang ada di NTT. Pelibatan program kampus merdeka sangat efektif dalam memberikan edukasi tentang stunting di masyarakat,” ujarnya.

Nusa Tenggara Timur (NTT) masih memiliki “pekerjaan rumah” atau “PR” besar untuk persoalan angka stunting yang tinggi. Berdasar Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 NTT memiliki 15 kabupaten berkategori “merah”. Pelabelan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.

Ke-15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bahkan Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen

Bahkan, lima kabupaten di NTT masuk ke dalam 10 besar daerah yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di tanah air. Ke lima kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan di urutan pertama, Timor Tengah Utara di posisi ke dua, Alor di peringkat ke-lima, Sumba Barat Daya di rangking ke-enam, serta Manggarai Timur di posisi 8 dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting.

Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.

Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.

“Persoalan stunting yang ada di masyarakat kita, tidak saja menjadi urusan pemerintah atau pemangku kepentingan belaka. Persoalan stunting adalah persoalan bangsa yang harus kita tuntaskan bersama dan membutuhkan kolaborasi semua kalangan,” lanjut Hasto.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi yang berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak didefinisikan terhambat gizinya jika tinggi badan mereka terhadap usia lebih dari dua deviasi standar, di bawah median standar pertumbuhan anak.

“Pemeriksaan calon pengantin 3 bulan sebelum menikah menjadi aspek hulu yang hisa dilakukan untuk untuk “mengantisipasi” potensi lahirnya bayi-bayi stunting. Tindakan yang tepat selama proses kehamilan, lahirnya buah hati hingga 1.000 hari pertama kehidupan, menjadi kunci lahirnya bayi-bayi sehat. Belum lagi masalah sanitasi, masalah jamban, persoalan ketersedian air bersih serta literasi tentang asupan gizi menjadi hal yang tidak bisa,” tutup Hasto.

 

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!