26.1 C
Jakarta

Lima Pondasi Islam Berkemajuan

Baca Juga:

Ketika penulis mempertahankan diserasi doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr Fuad Jabali, salah satu penguji bertanya: “Manakah yang potensial menjadi gerakan radikal di Indonesia, Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (NU)?”.

Dengan tegas penulis menjawab: “Tidak kedua-keduanya”. Mendengar jawaban penulis, Dr Fuad mengajukan pertanyaan berikutnya: “Bagaimana saudara bisa menjelaskan sebuah gerakan salafi seperti Muhammadiyah tidak menjadi radikal?” Penulis menjawab: “Gerakan Salafi tidaklah sama dan monolitik. Muhammadiyah adalah gerakan salafi reformis, bukan salafi skriptualis atau salafi politis”. Perdebatan sementara terhenti karena penguji lain mengajukan pertanyaan.

Disela-sela rehat menunggu sidang Dewan Penguji, penulis berusaha menyapa dan menemui para “supporter” yang menghadiri ujian promosi. Salah satunya Mas Ahmad Suaedy, aktivis NU dan Direktur Eksekutif the Wahid Institute. Kepada penulis, Mas Suaedy mengatakan: “Seharusnya tadi dijawab, NU tidak potensial menjadi radikal, tetapi sangat potensial menjadi Muhammadiyah.” Kami beruda dan “supporter” lain yang mendengar pembicaraan tertawa berderai. Yang disampaikan Mas Suaedy adalah sebuah “guyon-maton” canda yang serius. Dalam kesempatan yang berbeda, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), ketua umum GP Anshor, pernah menyampaikan hal yang senada kepada penulis: “Sampeyan ini orang Kudus, kok jadi ketua Pemuda Muhammadiyah. Pantesnya Sampeyan itu ketua Anshor. Tapi memang, setelah pintar, banyak orang NU yang masuk Muhammadiyah.”

Salah satu “tradisi” yang berkembang diantara para aktivis Muhammadiyah dan NU adalah saling bertukar anekdot, membuat joke dan humor. Salah satunya adalah joke yang dibuat Kyai Said Aqil Siradj. Dalam sebuah pertemuan dengan penulis, Kyai Said bercerita pengalamannya membawa tamu dari Arab mengunjungi korban gempa bumi di Yogyakarta. Setelah berkeliling dibeberapa tempat, tamu dari Arab bertanya kepada Kyai Said: “Saya perhatikan, banyak sekolah, rumah sakit, panti asuhan di Yogya ini semuanya Muhammadiyah. Apa yang dikerjakan NU?” Dengan santai Kyai Said menjawab: “Yang dikerjakan NU adalah membuat papan nama Muhammadiyah“.

Anekdot-anekdot tersebut menggambarkan bagaimana akrabnya hubungan diantara para aktivis dan tokoh Muhammadiyah dan NU. Tembok yang memisahkan keduanya sudah roboh. Relasi diantara keduanya sudah cair. Bahkan, menurut Kuntowijoyo (1999), sejak tahun 1980an, telah terjadi konvergensi diantara kaum modernis (Muhammadiyah) dengan tradisionalis (NU). Hal yang sama juga disebutkan Fazlur Rahan dalam bukunya Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1989). Konvergensi itu bahkan dengan tegas disebutkan Abdul Munir Mulkan dalam bukunya: Islam Murni Dalam Masyarakat Petani (2000). Berdasarkan penelitiannya, Munir Mulkhan menemukan empat varian Muhammadiyah: ikhlas, Kiai Dahlan, Muhammadiyah-NU (Munu) dan Marhaenis-Muhammadiyah (Marmud).

Sebagai organisasi, NU baru resmi berdiri 1926, empat belas tahun setelah Muhammadiyah. Tetapi ideologi dan tradisi NU yang merujuk kepada Islam ala Walisongo, sudah berakar dalam tradisi Islam Indonesia. Berdirinya NU sebagai organisasi menurut Deliar Noer (1982) merupakan respon atas berkembangnya Muhammadiyah yang dalam beberapa aspek berdampak terhadap melemahnya “tradisi” Islam.

Tulisan ini, merupakan bagian pengantar buku Islam Berkemajuan yang ditulis Kyai Syuja’, murid KH Ahmad Dahlan. Dalam buku ini, secara jelas menunjukkan longitudinal bagaimana kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sebagai pelaku sejarah, Kyai Sudja’ tidak hanya menjelaskan Muhammadiyah dari sumber primer yang orisinal, tetapi menghadirkan suasana kejiwaan, situasi sosial dan politik yang meyertai Muhammadiyah. Nampak jelas dalam buku itu, tentang akar tradisi keagamaan Kyai Dahlan yang sangat “NU”. “Ritual” perjalanan menunaikan ibadah haji yang pertama, selamatan paska meninggalnya orangtua dan rapat-rapat Muhamadiyah yang dibuka dengan “al-Fatihah” adalah contoh tradisi yang menjadi “trade mark” NU.

Bagaimana Kyai Dahlan yang “berasal dari NU” menjadi Muhammadiyah? Bagaimana Khai Dahlan membangun Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang modern, Islam yang berkemajuan? Berdasarkan pembacaan buku ini, menurut hemat penulis ada lima pondasi Islam berkemajuan yang menjadi karakter Muhammadiyah.

Kelima hal itu adalah …..

Penulis: Dr Abdul Mu’ti MEd/Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

Bersambung  < 2  3 4 5 6

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!