31.6 C
Jakarta

Orasi Berjudul Arbitrase Sengketa Kekayaan Intelektual Internasional, Antar Prof. Cita Citrawinda Raih Guru Besar Unkris

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Sidang Senat Universitas Krisnadwipayana (Unkris) kembali mengukuhkan seorang Guru Besar dibidang Ilmu Hukum di Jakarta pada Sabtu (3/6/2023). Prof. Dr. Cita Citrawinda Soegomo, SH, MIP dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap ke-9 Fakultas Hukum Unkris pada Sidang Terbuka Senat Unkris yang dipimpin oleh Ketua Senat Unkris Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH, MH.

Melalui orasi ilmiah berjudul “Arbitrase Sengketa Kekayaan Intektual Internasional”, Prof. Cita berhak menyandang gelar akademik tertinggi Profesor bidang Hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor: 13592/M/072023.

Sidang pengukuhan Prof Cita tersebut dihadiri oleh seluruh anggota Senat Unkris, dan guru besar tamu diantaranya Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A, Prof. Dr. Eddy Damian, S.H, Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A dan Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

Dalam sambutannya, Ketua Senat Unkris Prof. Gayus Lumbuun mengatakan pengukuhan Prof. Cita sebagai Guru Besar Unkris, merupakan suatu prestasi yang tidak ternilai bagi Unkris, karena akan semakin memperkuat staf pengajar dan dosen di Unkris terutama Fakultas Hukum.

“Profesor Cita Citrawinda Soegomo adalah sosok ilmuwan yang konsisten melaksanakan tugas mengajar dan penelitian, sehingga yang bersangkutan layak mendapatkan dan mencapai puncaknya sebagai Guru Besar dibidang Hukum. Pengukuhannya sebagai Guru Besar Unkris menjadi energi baru khususnya dibidang Hak Kekayaan Intelektual yang memang menjadi kekhususannya,” kata Prof Gayus.

Menurut Prof Gayus, setiap kali pelaksanaan kegiatan prosesi keilmuan di kalangan ilmuwan atau di perguruan tinggi, pada saat yang sama, terbersit pertanyaan reflektif mengenai bagaimana menempatkan dunia keilmuan kita dalam kehidupan yang utuh bagi seorang ilmuwan dan juga bagi masyarakat pada umumnya.

“Menuntut ilmu, sebagaimana ditunjukkan oleh Prof Cita Citrawinda Soegomo merupakan kewajiban baginya, karena dengan berbagai keilmuan seseorang melakukan kebaikan dan amal shaleh yang mampu mengantarkannya pada kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Orang yang berilmu akan mempunyai kedudukan yang bermanfaat dalam masyarakat, disegani, dihormati dan dijadikan tempat bertanya oleh masyarakat,” lanjut Prof Gayus.

Arbitase Sengketa Kekayaan Intelektual Internasional sebagaimana pidato pengukuhan Prof Cita, diakui Prof Gayus merupakan metode yang semakin populer untuk penyelesaian kekayaan intelektual. Semakin populernya arbitrase internasional sejalan dengan pentingnya kekayaan intelektual bagi kemakmuran ekonomi, perdagangan internasional dan keuntungan komersial di dunia yang terglobalisasi dan digital saat ini.

Lebih lanjut Prof Gayus menjelaskan secara konvensional, sengketa kekayaan intelektual umumnya diselesaikan di pengadilan nasional. Namun, sejalan dengan perkembangan dan dinamika di bidang hak kekayaan intelektual, kekayaan intelektual dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dengan pengecualiaan dan batasan tertentu.

“Arbitrase internasional, sebagai metode penyelesaian sengketa pribadi dan rahasia
menawarkan sejumlah keuntungan yang signifikan untuk penyelesaian sengketa kekayaan intelektual, terutama dalam kasus dengan elemen lintas batas, melibatkan penerapan hukum asing atau pihak dari berbagai yurisdiksi,” tukas Prof Gayus.

Prof Cita sendiri mengaku tertarik membahas mengenai arbitrase ini. Karena penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual saat ini terbuka pengaturannya bahkan bisa diatur di luar pengadilan, salah satunya melalui arbitrase. “Oleh karena itu saya tertarik menulis soal Hak Kekayaan Intelektual ini dalam naskah pidato guru besar saya,” jelasnya.

Menurutnya, sengketa Hak Kekayaan Intelektual yang melibatkan banyak negara sudah banyak kasusnya. Misalnya saja hak dibidang merek yang terkait dengan pihak asing. Umumnya sengketa tersebut masih diselesaikan melalui jalur pengadilan niaga. Padahal pihak yang terlibat sengketa memiliki peluang untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. “Umumnya penyelesaian sengketa masih melalui pengadilan niaga terkait dengan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Belum satu pun kasus yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI. Padahal badan ini dibentuk oleh pemerintah sejak 2011. Bayangkan, ini sudah tahun 2023. Itu artinya badan ini belum tersosialisasi dengan baik,” katanya.

Ia memastikan bahwa penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual melalui Badan Arbitrase akan jauh lebih menguntungkan dibanding melalui pengadilan. Beberapa keuntungannya antara lain bersifat tertutup, biaya lebih murah dan prosesnya juga jauh lebih cepat.

Dari kanan ke kiri : Rektor Unkris Dr Ayub Muktiono, Ketua Senat Unkris Prof Gayus Lumbuun, Gubes Hukum Unkris Prof Cita Citrawinda dan Ketua Senat FH unkris Prof Iman Santoso

Sementara itu Rektor Unkris Dr Ir Ayub Muktiono mengatakan dengan dikukuhkannya Prof Cita sebagai Guru Besar Unkris, maka kini Unkris memiliki 17 Guru Besar dimana 9 diantaranya berasal dari Fakultas Hukum.

“Selain menjadi energi baru bagi Fakultas Hukum, pengukuhan Guru Besar ini diharapkan menjadi inspirasi bagi dosen lain untuk lebih banyak melakukan penelitian, meningkatkan intensitas menulis untuk dipublikasikan di jurnal internasional sebagai syarat menyandang gelar Guru Besar,” kata Rektor.

Unkris diakui terus menjalin kolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi baik dalam negeri maupun perguruan tinggi asing terutama dalam hal kerjasama riset. Tujuannya untuk meningkatkan mutu dan kualitas Unkris dalam rangka menjadi Universitas Unggul tahun 2025.

Senada juga disampaikan Ketua Senat Fakultas Hukum Unkris Prof. Dr. Iman Santoso, SH, MH, MA. Menurutnya, untuk menjadi seorang Guru Besar, dibutuhkan publikasi-publikasi di jurnal internasional yang ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dosen. “Kerajinan dosen terutama dosen muda untuk melakukan penelitian dan mempublikasikan di jurnal internasional memang harus terus didorong dan itu kami lakukan terus,” katanya.

Prof Iman yakin dengan semakin banyaknya Guru Besar, ini akan berimplikasi positif tidak hanya pada mutu dan kualitas pengajaran, tetapi juga akreditasi Unkris. “Kita punya misi menjadi Universitas Unggul tahun 2025, sehingga mendorong dosen untuk melakukan karya-karya ilmiah akan terus kita lakukan,” tutup Prof Iman.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!