32.1 C
Jakarta

TNI dan Ekspresi Religiositas Prajurit

Baca Juga:

Mohamad Fadhilah Zein
Mohamad Fadhilah Zeinhttp://menara62.com/
Jurnalis, Produser, Ghost Writer, Youtuber, Kolumnis. For further communication contact fadil_zein@yahoo.com

Begitu pentingnya posisi agama dalam kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka dibentuk Pusat Pembinaan Mental (Pusbintal) yang dinahkodai Jenderal Bintang Satu. Pusbintal di lingkungan Mabes TNI menjadi bagian dari strategi pembentukan jiwa prajurit yang kokoh, militan dan terwarnai dengan nilai-nilai agama.

Dalam perjalanannya, derap prajurit TNI terikat dengan sapta marga yang salah satu butirnya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kehadiran Tuhan dan agama ini sudah menunjukkan seperti apa pembentukan jati diri prajurit Indonesia.

Kita bisa melihat logo ataupun semboyan kesatuan TNI yang sebenarnya tidak lepas dari pengaruh agama dan mitologi. Pengaruh bahasa Sansekerta Kerajaan Hindu Majapahit yang sangat melekat dengan logo, panji dan semboyan TNI hingga saat ini. “Jalesveva Jayamahe”, “Satya Wira Dharma”, “Swa Bhuana Paksa” adalah segelintir semboyan yang sebenarnya tidak lepas dari pengaruh  spiritual agama yang melekat dalam keseharian TNI.

Sejumlah nama yang diadaptasi dari mitologi Hindu pun digunakan dalam sistem persenjataan TNI. Sebut saja Alugoro yang disematkan pada kapal selam TNI AL. Alugoro adalah senjata berbentuk palu gada yang biasa digunakan oleh Prabu Baladewa, toloh wayang yang diadopsi dari mitologi Hindu.

Adapula kapal selam Ardadedali yang dalam mitologi Hindu merupakan senjata panah milik Arjuna. Dan, masih banyak lagi simbol-simbol agama dan mitologi yang digunakan oleh banyak kesatuan TNI. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh-pengaruh tersebut di lingkungan TNI.

Itu bisa dikategorikan sebagai ekspresi atas identitas agama (religiositas) yang menjadi kebanggaan dan tradisi elit-elit TNI. Sangat sulit mengubah tradisi tersebut dan memang tidak akan terjadi perubahan apa-apa atas kebiasaan tersebut. Mengapa? Karena pengaruh agama yang sangat kuat di lingkungan TNI. Elit TNI sangat bangga menyematkan simbol-simbol mitologi itu sebagai ekspresi dalam perwujudan identitas kelembagaan.

Dalam Oxford Dictionary (2012) ekspresi dipahami sebagai sebuah penampilan wajah individu dalam rangka menunjukkan perasaan atau penggambaran perasaan (person’s facial appereance, indicating feeling, depiction of feeling). Ekspresi tidak hanya menggambarkan penampilan wajah, melainkan juga terkait respon tubuh, kata-kata, bahkan simbol.

Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka penggunaan simbol berbasis agama dan mitologi di lingkungan TNI adalah sebuah ekspresi keagamaan. TNI dan agama tidak mungkin dipisahkan, sebagaimana di awal tulisan ini, nilai-nilai agama sudah melekat dalam sapta marga yang kemudian membentuk mental prajurit TNI.

Media sosial kita saat ini dihebohkan dengan video viral dua prajurit TNI melontarkan pernyataan yang menurut penulis, dikategorikan sebagai ekspresi keagamaan. Problem muncul karena keduanya dinilai tidak netral terkait dengan kepulangan Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air beberapa waktu lalu. Kedua prajurit itu pun diberi sanksi dengan alasan melanggar UU No. 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.

Dalam UU tersebut disebutkan jenis pelanggaran hukum disiplin militer hanya ada dua, seperti tertuang dalam Bab V Pasal 8. Pertama, jenis pelanggaran adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata tertib militer. Kedua, perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya.

Begitu umumnya jenis pelanggaran yang disebut dalam UU tersebut, tentunya menjadi absurd jika ada prajurit yang mengeluarkan ekspresi keagamaan lalu dijatuhi sanksi dengan alasan melanggar hukum disiplin militer. Bisa saja, di tengah euforia penjemputan Habib Rizieq dengan jumlah massa hingga ratusan ribu, melahirkan ekspresi religiositas bagi sebagian prajurit. Dan, pendekatan hukuman dengan borgol atau tahanan lalu foto keduanya disebarkan melalui media sosial, adalah tindakan yang tidak bijaksana.

Lebih dari itu, dalam UU tersebut, tidak ada pasal yang secara jelas dan gamblang menyebutkan bahwa ekspresi keagamaan adalah pelanggaran terhadap hukum dan disiplin militer. Tentunya, para pakar hukum militer harus berdialog lebih dalam lagi, apakah seorang prajurit yang mengeluarkan ekspresi keagamaan merupakan sebuah tindakan pelanggaran atau bukan?

Perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia sejatinya tidak lepas dari ekspresi keagamaan. Bung Tomo adalah yang paling fenomenal bagaimana pekik takbir membawa ribuan umat dengan gagah berani menghadapi pasukan sekutu mempertahankan kemerdekaan yang baru beberapa bulan diproklamirkan.

Pekik takbir yang terus diulang-ulang hingga kini setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pekik takbir adalah ekspresi dengan sentimen agama yang begitu kuat. Tanpa adanya ekspresi semacam itu, belum tentu perang 10 November di Surabaya akan begitu heroik.

Apakah Bung Tomo melanggar hukum disiplin dengan ekspresi semacam itu? Justru tidak, Bung Tomo malah mendapat pangkat Jenderal Mayor. Setelah kepergiannya, penghargaan TNI terhadapnya pun tidak sirna karena namanya kemudian disematkan pada kapal perang, KRI Bung Tomo.

Tentunya, dua prajurit TNI yang saat ini menjalani sanksi adalah urusan internal militer. Namun, rasa keadilan mengusik masyarakat ketika penegakan hukum tidak berlandaskan pada keadilan dan dunia global tengah diguncangkan dengan berbagai pemikiran dan gerakan menjauhkan manusia dari agama dan Tuhan. TNI adalah benteng terakhir pertahanan bangsa dan negara yang berangkat dari rahim rakyat. Dalam keseharian mereka, Prajurit TNI begitu kuat dengan napas dan nilai-nilai agama. (*)

Mohamad Fadhilah Zein

Anggota Komisi Infokom MUI

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!