27.5 C
Jakarta

TNI Menantikan Payung Hukum Operasional Melawan Aksi Terorisme

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Terorisme merupakan tindak pidana ekstra ordinari. Terorisme bisa mengancam stabilitas bangsa dan negara. Namun secara legal formal, operasionalisasi keterlibatan TNI dalam menghadapi terorisme belum memiliki payung hukum operasional berupa peraturan presiden yang menjadi amanat dari payung hukum UU no:5/2018 tentang penanggulanan terorisme.

Kendalanya, menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham Prof Dr Benny Riyanto SH MHum CN, ada dibagian penjelasan pasal 43 huruf I ayat (3) yang menyebutkan, pembentukan peraturan presiden dalam ketentuan ini, dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR RI.

“Berkonsultasi dengan DPR, bukan harus mendapatkan persetujuan,” ujar Prof Benny  Riyanto dalam Webinar Peran TNI Mengatasi Aksi Terorisme dalam Menjaga Kedaulatan NKRI di Jakarta, Rabu (11/11/2020).

Selain Prof Benny Riyanto, diskusi yang digelar Sekolah Tinggi Hulkum Militer ini dipandu Dr Prastoko SH MA  juga menghadirkan Ahli Hukum Tata Negara FH UI Prof Dr Maria Farida Indrati SH MH, Rektor Universitas Ahmad Yani Prof Hikmahanto Juwana, Prof Dr Indriyanto Seno Adji SH MH, dosen FH Universitas Indonesia Dr Edmon Makarim SKom SH, sebagai pembicara. Selain itu, juga ada Kolonel KH Dr Ali Ridho SH MM sebagai penanggap.

Prof Benny Riyanto pun mengungkapkan, saat ini, TNI melalui Kementrian Pertahanan sedang mengajukan rancangan Perpres terkait tindak lanjut tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme.

Ia menyebutkan, keterlibatan TNI, sebenarnya sudah diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-undang TNI yaitu UU no: 34 tahun 2004. Ayat (1) Pasal 7 UU tersebut menjelaskan bahwa TNI memiliki tugas pokok. Kemudian ayat (2) nya menyebutkan, tugas pokok itu dilakukan melalui dua cara yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam operasi militer selain perang, poin 3 menyebutkan untuk mengatasi terorisme.

Dinamika internasional pelibatan militer secara terbatas dalam pemberantasan terorisme, menurut Prof Benny Riyanto, sebenarnya bukan merupakan hal baru. Di dalam beberapa literatur secara umum, setiap negara yang menghadapi ancaman terorisme memberikan ruang keterlibatan militer. Keterlibatan itu dilakukan dengan militerisasi penuh atau bantuan terhadap otoritas penegak hukum.

“Kemampuan militer ini sangat dibutuhkan untuk penanggulangan terorisme,” ujarnya.

Harus Segera

Prof Maria Farida mengakui, bagian Penjelasan UU no.5/2018, pasal 43 huruf I ayat (3) seperti menyandera presiden dalam membuat perpres, karena ada ketentuan pembuatan perpres dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR.

Namun, setelah konsultasi dilakukan sampai sekarang belum membuahkan hasil. Padahal seharusnya perpres itu, paling lama setahun setelah peraturan itu diundangkan, harus sudah selesai.

Ia pun menyarankan, agar lebih intens melakukan konsultasi dengan DPR agar perpres itu bisa segera selesai. Memang, ia juga mengingkapkan paling tidak ada dua langkah lain yang bisa ditempuh, namun langkah itu  membutuhkan waktu lama. Kedua langkah itu adalah memajukan perubahan atas UU no:5/2018 dan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Secara lebih lugas lagi, Prof Hikmahanto mengatakan bahwa penyelesaian perpres tersebut menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini. Bukan saja karena proses pembuatannya sudah telat dua tahun, namun juga evolusi terorisme juga berlangsung sangat cepat yang bisa mengancam kedaulatan negara.

“Repot kalau perpres tidak keluar-keluar. Apakah memang perpres itu harus ada konsultasi ke DPR, memang kalau di bagian penjelasannya ada di sana tetapi tidak sampai berlama-lama juga,” ujarnya.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!