27.8 C
Jakarta

Pontjo Sutowo Kembali Ingatkan Pentingnya Sains dan Teknologi untuk Kesejahteraan Masyarakat

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo kembali menguingatkan pentingnya penguasaan sains dan teknologi untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat sebuah negara. Model ekonomi berbasis ilmu pengetahuan tersebut di hampir semua negara terbukti memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menumbuhkembangkan ekonomi nasionalnya yang berkelanjutan.

“Negara-negara yang telah menjalankan ekonomi berbasis pengetahuan, seperti negara-negara Eropa pada umumnya dan beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan ternyata lebih mampu mensejahterakan rakyatnya daripada negara-negara yang hanya bersandar pada kekayaan sumberdaya alam,” kata Pontjo pada FGD bertema: “Kajian Penyusunan Peta Jalan (Road Map) Penguatan Sistem Inovasi Nasional” yang digelar Kamis (28/3/2024).

Sedang Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah ternyata belum mampu menjadikannya sebagai keunggulan kompetitif dan mewujudkan kesejahteraan yang dicita-citakan.

Menurut Pontjo, model ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy), dapat menstimulasi kreativitas dalam penerapan sains dan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan kapasitas sains dan teknologi, kekayaan alam dapat didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup suatu bangsa.

Oleh karena itulah, World Bank menaruh perhatian untuk mengukur dan memonitor perkembangan model ekonomi ini dengan menggunakan The Knowledge Economy Index (KEI) melalui empat pilar yang menjadi dasar penilaiannya. Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan sains dan teknlologinya yang memang saat ini masih ketinggalan.

Dalam laporan Indeks Inovasi Global (Global Inovation Index) tahun 2023 yang dirilis oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) pada Nopember 2023, Indonesia masih berada pada peringkat 61 dari 132 negara di dunia. Meskipun mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, capaian inovasi Indonesia masih kalah dari enam negara lainnya di kawasan ASEAN.

Rendahnya penguasaan sains dan teknologi Indonesia lanjut Pontjo antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem Inovasi Nasional yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, tatakelola, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Dari sisi kelembagaan, sinergi dan kolaborasi tiga pihak (Triple-Helix) antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai.

Berlandaskan pada strategi Triple Helix ini, pengembangan sains dan teknologi tentu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus ada upaya sinergetik dari ketiga pihak tersebut. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, dan industri/dunia usaha, serta pemberdayaan masyarakat sangatlah penting, terutama dalam mendorong proses hilirisasi yaitu proses mendekatkan hasil riset dan inovasi kepada dunia usaha/industri atau masyarakat untuk penerapan hingga pemasarannya.

Sampai saat ini, proses hilirisasi hasil riset dan inovasi yang dihasilkan oleh lembaga riset/perguruan tinggi masih menghadapi berbagai masalah, antara lain: hasil riset tidak sesuai dengan kebutuhan industri/dunia usaha, masih rendahnya kepercayaan industri terhadap hasil invensi lembaga-lembaga riset, pendanaan inovasi, hambatan birokrasi, dan ekosistem riset yang tidak kondusif, terutama adanya jurang yang sangat lebar antara lembaga riset/perguruan tinggi di satu sisi, dan dunia usaha/industri di sisi lain. Begitu banyaknya hambatan yang masih dihadapi, maka proses hilirisasi menjadi fase yang sangat kritis sehingga sering disebut sebagai “Lembah Kematian Inovasi”.

Selain itu, kata Pontjo, problem riset Indonesia terlalu memusat pada lembaga riset negara. Kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil riset ke jantung masyarakat. “Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus sampai ke pasar. Oleh karena itu, kegiatan riset dan inovasi mestinya menjadi bagian organik dari dunia usaha. Untuk itu perlu ada kebijakan yang mendorong pembudayaan riset-inovasi di dunia usaha, dengan berbagai kerangka kebijakan fiskal seperti: insentif pajak dan permodalan,” tegasnya.

Pontjo mengingatkan bahwa pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggungjawab atas kemajuan sains dan teknologi bangsa ini. Untuk itu, pengusaha Indonesia sudah seharusnya tidak sekadar menjadi “benefit seekers” tetapi juga memiliki tanggungjawab atas kepentingan nasional sebagai wujud dari kewajiban konstitusional “bela negara” atas bangsa dan negaranya.

“Mudah-mudahan dengan keluarnya Undang Undang No. 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, kebutuhan akan penguatan Sistem Inovasi Nasional ini dapat terpenuhi. Penguatan Sistem Inovasi Nasional sangat diperlukan demi menguatnya kelembagaan iptek, sumberdaya iptek, dan jaringan iptek,” katanya.

Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi

Dalam rangka menguatkan pondasi tersebut, Bappenas telah menyusun “Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi” dengan memberikan arah serta koridor untuk memastikan bahwa setiap elemen pendukung sistem dapat berkolaborasi dan saling mendukung untuk dapat berkontribusi secara optimal. Merujuk cetak biru ini, ada beberapa elemen penting yang membentuk Sistem Inovasi Nasional yaitu: Elemen Regulasi, Kelembagaan, Mekanisme Akuntabilitas, Sumber Daya, Insentif & Pendanaan.

Selain problem ekosistem inovasi nasional, isu strategis yang juga harus mendapat perhatian jelas Pontjo adalah soal daya beli nasional (domestic purchasing power)” baik itu daya beli masyarakat maupun daya beli pemerintah (government expenditure)” yang merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Oleh karena itu, sudah seharusnya “daya beli nasional” dikelola secara bijak untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional termasuk kepentingan penguatan inovasi dan iptek.

“Dalam pengelolaan daya beli nasional, kita juga masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik yang menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dll. Salah satu persoalan besar yang masih kita hadapi adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dan “state capture” dalam bidang perekonomian/perdagangan yang sangat membebani upaya transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan,” tandas Pontjo.

Aliansi Kebangsaan melalui beberapa seri FGD “Tata Sejahtera” telah didiskusikan berbagai isu penting terkait dengan potensi, masalah, hambatan, dan tantangan dalam upaya penguatan sistem inovasi nasional bahkan menyusun rekomendasi perlunya penyusunan “Peta Jalan Penguatan Sistem Inovasi Nasional Indonesia” untuk 20 tahun ke depan. Ini penting agar dapat menjadi panduan dalam menjabarkan arah penguatan Sistem Inovasi Nasional dengan mengintegrasikan jejaring institusi, baik institusi pemerintahan sektoral atau lintas sektoral, lembaga riset, lembaga pendidikan, lembaga penunjang inovasi, dunia bisnis dan masyarakat; serta menjadi petunjuk arah bagi inovasi yang mendukung program-program nasional sehingga mampu mendorong daya saing nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Semua potensi dan konsep itu bisa bekerja, jika kita memiliki “mindset” dan “Visi Iptek” Indonesia yang jelas. Visi Iptek sangat diperlukan untuk mendorong dan mengikat semua pihak ke dalam kesatuan langkah pembangunan iptek, membuat kebijakan dan memperjelas posisi penetrasi Iptek ke dalam pembangunan. Beberapa Negara seperti Cina, Korea, India, bahkan Malaysia yang saat ini mempunyai basis Iptek yang kuat, dimulai dengan meletakkan visi iptek yang benar sehingga kebijakan- kebijakan ipteknya menunjang,” jelasnya.

Dengan segala upaya tersebut, diharapkan Indonesia bisa keluar dari paradoks “kutukan sumber daya alam (resource curse)” menuju ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi dengan inovasi yang disruptif dan penguasaan teknologi yang tinggi.

FGD yang dimoderatori oleh Drs. Wisnubroto, Psikolog, MM (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti) tersebut menghadirkan narasumber Dr.-Ing. H. Ilham Akbar Habibie, Dipl.Ing., M.B.A. (Kepala Badan Riset dan Teknologi, KADIN Indonesia), Amich Alhumami, Ph.D (Deputi PMMK Bappenas), Anindya Bakrie (CEO Bakrie Group) dan Ir. Agung Nugroho (Regio Aviasi Industri).

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!