31.7 C
Jakarta

Rebutan Jabatan: Kultur Senyap di Internal Muhammadiyah

Baca Juga:

Di sebagian ruang perhelatan forum permusyawaratan Muhammadiyah hari ini, ada sesuatu yang berubah. Nilai keikhlasan yang dulu begitu kokoh sebagai fondasi gerakan, kini mulai bersisian dengan ambisi, kalkulasi strategi, bahkan dukungan struktural yang tersusun rapi.

Pertanyaannya: benarkah tidak ada rebutan jabatan di Muhammadiyah?

Pertanyaan besar pada tulisan ini layak kita renungkan bersama. Benarkah kultur organisasi Muhammadiyah steril dari perebutan jabatan? Kita perlu jujur untuk menjawabnya.

Proses transformasi kepemimpinan adalah kunci keberhasilan sebuah organisasi. Muhammadiyah selalu menanamkan kepada para kadernya untuk tidak pernah berebut jabatan. Tetapi jika jabatan telah diberikan, maka kita harus menunaikan amanah itu dengan penuh pengabdian dan keikhlasan.

Namun semboyan itu perlahan memudar. Paling tidak, itulah yang dirasakan sejumlah kader Persyarikatan ini. Beragam kepentingan masuk ke dalam organisasi Muhammadiyah, menjadikan kompetisi ide dan gagasan sering dikalahkan oleh isu figur yang akan ditampilkan. Mungkin beragam kepentingan yang masuk ini tak terhindarkan. Tapi dari sinilah praktek rebutan jabatan akan dimulai.

Seusai Muktamar 2010 di Yogyakarta, Buya Syafii Maarif pernah melontarkan kegelisahan yang tidak bisa kita anggap enteng. Beliau menyebut adanya fenomena tim sukses calon ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah, fenomena yang bagi beliau terasa asing, bahkan sudah sangat mengkhawatirkan.

Dengan nada getir, Buya Syafii menyampaikan bahwa hadirnya tim sukses dengan gaya partai politik telah menimbulkan kerisauan mendalam. Fenomena ini terasa seperti sesuatu yang tidak tumbuh dari kultur Muhammadiyah. Sebuah kultur yang selama ini menanamkan kesadaran ikhlas, amanah, dan keteladanan.

Indikasi kehadiran tim sukses bukanlah ilusi. Penulis menyaksikan sendiri bagaimana pola komunikasi informal, lobi personal, dan penggalangan dukungan mulai terbentuk jauh sebelum muktamar dilaksanakan.

Pada Muktamar Makassar 2015 maupun Surakarta 2022, aroma adanya upaya-upaya intervensi dari kekuasaan semakin terasa. Upaya itu dengan melibatkan figur-figur pimpinan amal usaha hingga dukungan logistik yang kian terstruktur.

Keresahan Buya Syafii ini penulis angkat, agar menjadi bahan muhasabah kita bersama. Kita berharap denyut nadi Muhammadiyah tetap tegak lurus menuju kemurnian tauhid: berjuang, mengabdi, dan mengikhtiarkan kebaikan dan amal saleh bukan karena ambisi, tetapi karena panggilan iman.

Namun, realitasnya fenomena rebutan jabatan ini telah berkembang semakin luas. Tidak jarang kita menyaksikan munculnya fitnah, propaganda halus, hingga polarisasi internal hanya demi memenangkan pemilihan pimpinan. Ketika pendekatan gaya politik kekuasaan lebih dominan dibanding nilai ideologis, maka proses kaderisasi sepertinya tidak ada gunanya lagi.

Dinamika salah kaprah

Fenomena tim sukses dalam forum permusyawaratan bahkan kini hadir hingga ke level PWM dan PDM. Banyak yang memandangnya sebagai dinamika wajar organisasi modern. Namun tiba-tiba kita akan tersentak ketika menyadari, bahwa sejumlah daerah kini dipimpin figur yang tidak lagi berjalan dengan visi besar Persyarikatan, melainkan sekadar menjalankan rutinitas seremonial saja.

Bahwa acapkali muncul sikap tidak legowo ketika ada pihak yang merasa gagal memperoleh jabatan, menjadi sebuah gejala yang dulu terasa mustahil ada dalam kultur Persyarikatan Muhammadiyah.

Beruntung, Muhammadiyah masih memiliki basis cabang dan ranting. Pada level inilah kemurnian masih terasa: kerja nyata dan aksi sosial lebih menonjol daripada simbol, dan pengabdian hadir tanpa pamrih atas kalkulasi kepada kepentingan.

Cabang dan ranting adalah benteng terakhir nilai keikhlasan. Mereka bekerja bukan karena kamera atau mikrofon, bukan karena struktur atau gelar organisasi, tetapi karena dorongan iman dan khidmat.

Di pundak merekalah kemurnian semangat jiwa ber-Muhammadiyah masih hidup. Dan mungkin di Cabang-Ranting pula, kita dapat kembali belajar tentang memimpin tanpa ingin dipilih, dan berjuang tanpa rebutan jabatan.

Kultur Senyap Rebutan Jabatan

Fenomena rebutan jabatan juga terang benderang terjadi di kepemimpinan amal usaha. Terlebih jika AUM tersebut telah besar dan profitable. Perebutan dan intrik internal kerap menyertai. Bahkan, terkadang melibatkan struktur pimpinan persyarikatan di atasnya.

Berbeda jika AUM-nya masih kecil dan belum berkembang. Mereka yang terlibat didalamnya nampak lebih tulus dan nilai-nilai ideologisnya masih kuat tertanam.

Sebagian ortom tingkat pusat pun tidak luput dari gejala rebutan jabatan ini. Prinsip fastabiqul khairat tercemari ambisi personal dan kelompok. Apalagi ortom Muhammadiyah tingkat pusat, kini semakin terbaca sebagai jalur strategis menuju panggung politik nasional. Tarikan kepentingan pun semakin kentara.

Dinamika yang terjadi dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, menunjukkan bagaimana kompetisi internal bisa bergeser dari ruang dakwah menuju ruang kontestasi politik. Proses yang berlangsung di sana—dengan dukungan struktural, logistik yang masif, serta polarisasi dukungan kader—menjadi tanda bahwa perebutan jabatan kini berlangsung secara semakin terbuka dan sistematis.

Sebagian menganggap ini wajar. Namun bagi sebagian kalangan yang jernih mengamati gejala tersebut, pasti akan melihatnya sebagai alarm peringatan yang serius.

Muktamar IMM dalam beberapa periode terakhir, penulis amati semakin menampakkan gejala perebutan jabatan yang agak liar. Baik Pemuda Muhammadiyah, maupun IMM, terindikasi melibatkan aktor luar dari operator seragam coklat dan Badan Tiga Huruf. Tentu hal ini tidak pantas untuk dibiarkan.

Fenomena paling mengejutkan justru muncul dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Pembatalan hasil muktamar IPM karena ada indikasi kecurangan, bukan hanya peristiwa organisatoris, tetapi jelas ini tamparan yang sangat memalukan.

Jika pelajar sudah mengenal transaksi jabatan, maka kita patut bertanya: “Nilai apa yang sebenarnya sedang diwariskan kepada generasi penerus Muhammadiyah nanti?”

Karena itu, kini saatnya Muhammadiyah melakukan koreksi arah dengan kesungguhan. Kita tidak boleh menormalisasi praktik yang mengaburkan nilai kebenaran dengan dalih dinamika organisasi. Jabatan dalam Muhammadiyah bukan ruang transaksi, bukan panggung ambisi, bukan tiket mobilisasi sosial, dan bukan pula gelanggang kompetisi politik terselubung. Karena jabatan adalah amanah dakwah.

Kita membutuhkan keberanian moral untuk menghentikan praktik rebutan jabatan, memperbaiki pola kaderisasi, dan membangun sistem regenerasi yang mengutamakan integritas dan keteladanan akhlak sebagai Pimpinan.

Tulisan ini penulis tujukan sebagai ruang refleksi kader, bukan sebagai penghakiman — karena organisasi yang mampu mengoreksi dirinya sendiri adalah organisasi yang bakal memiliki masa depan yang cemerlang…

Ciputat, 10 Rabiul Akhir 1447/ 1 Desember 2025

Oleh: Qosdus Sabil (Anggota Ranting Muhammadiyah Legoso Ciputat)

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!