25.9 C
Jakarta

Kekeringan 2019 Cukup Parah, Ini Beberapa Pemicunya

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengakui kekeringan yang terjadi pada tahun 2019 cukup parah. Kondisi tersebut berdampak pada sektor pertanian, sumber daya air, kehutanan, dan lingkungan.

Kekeringan tersebut turut dipicu oleh fenomena El Nino yang aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah. Kemudian diikuti pula oleh fenomena Dipole Mode fase positif Samudera Hindia (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember ini.

Kekeringan tahun 2019, tambahnya, menjadi cukup parah salah satunya adalah karena lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terutama bagian selatan >0.5°C dari kondisi normalnya pada periode Juni – November 2019. Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulitnya pertumbuhan awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer akibat rendahnya penguapan dari lautan.

“Secara umum, musim kemarau tahun 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau tahun 2018 dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010, meski tidak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu,” ujar Dwikorita dalam siaran persnya.

Selain itu, sambungnya, tingkat kekeringan meteorologis juga ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan (90 hari) yang cukup merata terjadi di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa.

“Daerah Rumbangaru, Sumba Timur mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang pada tahun ini yaitu 259 hari,” terangnya.

Ia juga menyatakan bahwa panjang musim kemarau 2019 di Indonesia cenderung lebih panjang dari normalnya. Pada tahun 2019, ~46% dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami panjang musim kemarau sama hingga lebih panjang 6 dasarian (2 bulan) dari normalnya.

Hingga 20 Desember 2019, ungkapnya, musim kemarau masih berlangsung di Jatim bagian timur, sebagian besar P. Sulawesi, sebagian Kep. Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.

“Salah satu dampak kekeringan yang cukup parah pada tahun ini adalah memburuknya kualitas udara lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan pada Agustus hingga Oktober 2019,” ujarnya.

BMKG pun mencatat konsentrasi debu polutan berukuran <10 mikron (PM10) di wilayah Sumatera menunjukkan kecenderungan tinggi. Pada bulan September, konsentrasi semua wilayah di Sumatera melebihi nilai ambang batasnya (150 ug/m3).

Terkait bencana, BMKG mencatat hingga Desember 2019, telah terjadi 343 banjir, 340 tanah longsor, banjir disertai tanah longsor di 5 lokasi, serta 554 kejadian puting beliung. Kemarau panjang dan kekeringan tahun ini turut memicu 52 kejadian kebakaran hutan dan lahan dan bencana asap.

Di samping itu, data kegempaan menyebutkan bahwa di tahun 2019 telah terjadi 11.573 kali gempa, di antaranya terdapat 344 kali gempa diatas M.5 (magnitudo 5) dan 17 kali gempa merusak. Berdasarkan peta aktivitas gempabumi (seismisitas) selama tahun 2019, tampak bahwa kluster aktivitas gempabumi paling padat terjadi di daerah Nias, Lombok-Sumba, Laut Maluku Utara, Ambon, Laut Banda, dan Sarmi-Mamberamo.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!