Dejavu, apa yang dilakukan “duo” AP Hasanudin dan Thomas Djamaludin tahun ini. Tahun 2001 di sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah warga Muhammadiyah tidak sekedar diancam jiwanya, banyak fasilitas – fasilitas persyarikatan yang dirusak.
Gedung dan fasilitas milik Muhammadiyah di Jawa Timur seperti sekolah, panti asuhan, universitas, masjid dan fasilitas lainnya di daerah – daerah Pasuruan, Situbondo, Gresik, Sidoarjo, Bondowoso, Banyuwangi dan Tuban, dirusak dan bahkan dibakar, rumah – rumah tokoh dan warga Muhammadiyah diberi tanda silang merah sebagai tanda terror ancaman keselamatan jiwa mereka.
Kejadian serupa dialami warga Persyarikatan di wilayah Banyumas Jawa Tengah, termasuk Pekalongan muncul teror tanda silang merah yang menimbulkan kecemasan dan keresahan warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah di tahun itu menjadi korban kekerasan politik dan politik kekerasan karena efek diimpeachmentnya Gus Dur sebagai presiden oleh MPR.
Apa salah Muhammadiyah ?
Ketika itu, Buya Safii Ma’arif pernah protes keras. “ Sebenarnya apa salah Muhammadiyah?” Himbauan, opini publik, dan langkah–langkah kepada berbagai pihak intinya tidak menerima, mengutuk dan meminta kasus ini ditangani pihak kepolisian dan aparat penegak hukum, tanpa melakukan kekerasan serupa yang sebenarnya bisa saja dilakukan Muhammadiyah. Saat yang sama, Buya juga meminta semua pihak di lingkungan Muhammadiyah mengedepankan keadaban, sikap dewasa dan rasionalitas.
Sisi lain, ketika tahun 2001 asset – asset Muhammadiyah dirusak dan dibakar tidak banyak atensi dari kalangan Muhammadiyah di wilayah lain. Prof Haedar dan Buya Safii mengaitkan ini sebagai muhasabah, menurunnya solidaritas warga Muhammadiyah karena ikatan ideologisnya mulai memudar.
Kurang Peka
Oleh penulis secara subjektif digambarkan melalui beberapa pertanyaan, apakah Manhaj / ideologi Muhammadiyah belum menjadi superstruktur, untuk menjadi landasan berjuang struktur dan infrastruktur Muhammadiyah? Apakah orang–orang Muhammadiyah cenderung mengedepankan rasionalitas kurang peka emosionalnya? sehingga solidaritas antar anggota Muhammadiyah tidak tumbuh mekar.
Celoteh AP Hasanudin (pribadi) dengan kekuatan media sosial, memberikan perluasan sebaran ancaman. Kicauan itu memang tidak sama dengan peristiwa tahun 2001, dimana media sosial belum muncul sebagai sarana komunikasi publik. Hampir semua grub wa Muhammadiyah, viral membicarakannya. Bisa dibayangkan jika ujaran kebencian, ancaman pribadi AP Hasanudin dilakukan oleh kelompok, organisasi, komunitas tertentu akan menimbulkan dampak konflik–konflik besar.
Jika menjawab pertanyaan diatas, bahwa respon warga Muhammadiyah yang tertampilkan di berbagai grup wa, merupakan kesadaran kolektif atas dasar solidaritas dengan menguatkan manhaj Muhammadiyah sebagai hal positif bagi pergerakan Muhammadiyah ke depan.
Bukan tanpa alasan Buya Safii dan Prof Haedar mengkaitkan solidaritas kolektif dengan manhaj gerakan Muhammadiyah. Manhaj sebagai superstruktur yang nilai- nilainya di bangun atas dasar kesepakatan, mengikat, system keyakinan sebagai lanadasan juang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jika tidak ada ikatan superstruktur ini, dampak ancaman “halalnya darah orang – orang Muhammadiyah” hanya pepesan kosong oknum intoleran, ASN BRIN, AP Hasanudin yang perlu ditest ulang wawasan kebangsaan.
Terhadap oknum ini proses secara hukum, berikan efek jera sejera–jeranya d,an ini sudah dilakukan oleh Pimpinan Persyarikatan di berbagai tingkat. Surat pernyataan permintaan maaf tidak berlaku jika masuk unsur pidana.
Pengalaman berharga ini memberikan signal kuat, boleh jadi sedang tumbuh mekar kesadaran dan ikatan kolektif sehingga muncul daya kohesivitasnya sebagai Gerakan Islam yang besar.
Apa Salah Muhammadiyah, Rasionalitas Keilmuan tergadaikan?
Tidak ada yang serba pakem dan mutlak menyangkut pemikian manusia, menjadi area kajian yang terbuka didunia pemikiran publik tanpa terjebak pada hegemoni menarik relasi kepentinan pemerintah versus Muhammadiyah dalam penetapan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.
Bentangan kebenaran ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran manusia luas sekali dan semuanya berada wilayah relativitas.
Kenapa Thomas Djamaldin dan AP Hasanudin habiskan energi membenturkan hasil pemikiran sebagai bagian ijtihad Muhammadiyah dengan ketidaktaatan terhadap pemerintah? Apa sesederhana itukah ? Rasionalitas keilmuan apakah harus digadaikan ?
Thomas Djamaludin harusnya menempatkan indepedensi keilmuan berbasis data dan riset bukan membenturkan tradisi keilmuan ahli–ahli hisab Muhammadiyah, dengan mempertentangkan Muhammadiyah tidak taat terhadap pemerintah.
Seorang ASN BRIN, AP Hasanudin mengkaitkan kepentingan penyatuan kalender Islam Global denga isu–isu penyusupan HTI di Muhammadiyah? Halal darah orang – orang Muhammadiyah?
Lantas pertanyaan selanjutnya kenapa energi dan tradisi keilmuan mereka, misalkan diarahkan menguak fenomena astronomis di beberapan wilayah belahan dunia. Taruhlah wilayah yang paling ekstrem arctic, dimana ada suatu masa dimusim winter matahari tidak pernah muncul, dan di musim summer matahari tidak pernah tenggelam. Fenomena ini oleh kaum capital diambil peluang wisata alam, malam hari matahari bersinar. Akan sangat menarik, bagaimana umat Islam di wilayah ini melaksanakan sholat lima waktu jika matahari tidak pernah terbit, atau tidak pernah tenggelam, apalagi kalau dikaitkan dengan penentuan 1 Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah.
Beberapa ilmuwan Muhammadiyah, saat ini mencoba membongkar pemikiran astronomis barat terkait fajar astronomis yang menyesatkan kalangan umat Islam dengan data – data empiriknya.
Begitulah Muhammadiyah menjawabnya bukan sibuk bersosial media, membuat ujaran – ujaran kebencian tanpa dalil yang jelas.
Jadi sebenarnya apa salah Muhammadiyah ?
Denpasar, 25 April 2023
Penulis: T. Wisnu Wardhana, Ketua PDM Kota Denpasar