28.1 C
Jakarta

Buka Topengmu

Baca Juga:

Tapi buka dulu topengmu…‎
Buka dulu topengmu…‎
Biar kulihat warnamu…‎
Biar kulihat warnamu…‎
‎                                                 — Peterpan

Salah satu penyakit yang menghinggapi masyarakat modern adalah ‎hilangnya jati diri. Banyak orang yang malu tampil di muka umum dengan ‎identitas diri yang sesungguhnya. Mereka merasa lebih pede untuk tampil di ‎muka umum dengan mengenakan ‘topeng’. ‎

Ada orang yang ingin dilihat sebagai orang sukses, sehingga sebisa ‎mungkin penampilan serta gaya hidup dipoles sedemikian rupa layaknya ‎orang-orang sukses beneran. Dari mulai pakaian yang dikenakan, gadget yang ‎dimiliki, hingga kendaraan yang dinaiki semuanya bermerek dan berkelas. ‎Tidak peduli apakah untuk memoles penampilan tersebut dia harus megap-‎megap, ngos-ngosan, karena terpaksa harus gali lubang tutup lubang, atau ‎malah gali lubang terus-menerus tanpa bisa menutupnya. Prinsip yang dia ‎pegang adalah: “biar tekor asal nyohor”.‎

Di negeri ini, model orang–orang seperti ini tidak sedikit jumlahnya. ‎Kelihatan ‘wah’ di luar, tetapi keropos di dalam. Penampilan perlente, tetapi ‎aslinya kere. ‎

Betapa memprihatinkannya orang-orang seperti ini. Demi menjaga ‎imagenya, dia rela menderita. Dia sangat bangga apabila ada orang yang ‎memujinya. Dia pun senang bukan kepalang ketika orang lain melihat dirinya ‎sebagai orang sukses. Padahal, di balik semua itu, ada bom waktu yang siap ‎meledak setiap saat. Ada bola salju yang terus menggelinding dan semakin ‎membesar yang pada saatnya nanti akan menimpanya. Ketika bom waktu itu ‎meledak. Ketika bola salju itu benar-benar menimpanya, maka di situlah masa ‎kehancurannya. ‎

Setinggi apa pun cita-cita kita, sebesar apa pun keinginan kita untuk ‎sukses, sekagum apa pun kepada sang idola yang menjadi rujukan ‎untuk sukses, tetaplah menjadi diri sendiri. Kita tidak perlu mengekor apa lagi ‎menjiplak orang lain. Be Yourself! Jadilah diri sendiri.‎

Ketika sukses sudah kita raih, ketika cita-cita sudah berhasil kita capai, ‎ketika popularitas sudah berada digenggaman, tetaplah menjadi diri sendiri. ‎Tidak usah jumawa, tidak perlu tinggi hati. Meski prestasi mencapai langit, ‎kaki harus tetap menginjak bumi. Meski bertabur sanjung puji, tetaplah ‎rendah hati. ‎

Menjadi diri sendiri itu mulia. Karena kita mensyukuri nikmat yang ‎telah diberikan Sang Pencipta. Menjadi diri sendiri akan mengangkat derajat ‎kita. Menjadi diri sendiri menunjukkan kedewasaan sikap dan kematangan ‎jiwa.‎

Orang lain akan simpatik kepada mereka yang bersikap sewajarnya, ‎bertindak apa adanya, berlaku seperlunya. Tidak tampak angkuh, meski ‎kesuksesan berhasil direngkuh. Tidak tinggi hati, meski bertabur prestasi. ‎Tidak jumawa meski rezekinya berlimpah. ‎

Tetap menjadi diri sendiri setelah kesuksesan berhasil digapai tidak ‎akan menjatuhkan harga diri seseorang, justru akan semakin menaikkannya. ‎Tetap menjadi diri sendiri dan tidak mengekor atau menduplikasi orang lain, ‎setelah pelbagai prestasi diraih akan semakin menguatkan image kita sebagai ‎pribadi yang baik.‎

Tidak ada untungnya kita mengubah gaya hidup mengikuti orang lain, ‎agar tampak ‘wah’. Tidak ada artinya kita berpura-pura hidup bahagia dengan ‎segala gemerlap atribut duniawi, jika sesungguhnya kita menderita ‎berkepanjangan. Hidup di balik topeng kemewahan, padahal hanya ‎kebohongan semata, akan menyiksa diri tiada henti. Hidup dalam gelimang ‎kekayaan semu, akan menghadirkan kegelisahan tak berujung. ‎

Ironisnya, banyak di antara kita— atau mungkin diri kita sendiri?— ‎yang lebih memilih jaga imej (jaim) dengan memoles penampilan kita ‎semewah mungkin, daripada tampil apa adanya sesuai dengan kemampuan ‎dan kenyataan hidup yang tengah kita jalani.‎

Tidak sedikit orang yang ingin tampil ‘wah’, meskipun kenyataan serta ‎kemampuannya jauh panggang dari api. Dia selalu berusaha mengikuti tren ‎dalam segala hal. Dari mulai rumah yang didiami, kendaraan yang dinaiki, ‎pakaian yang dikenakan, hingga perangkat teknologi yang digunakan. ‎Singkatnya, Dia selalu up to date dalam segala hal. ‎

Konsekuensinya, dia harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang ‎besar. Padahal kenyataannya, kemampuan finansialnya sangat terbatas. ‎Walhasil, berbagai cara dia lakukan yang penting hasratnya untuk tampil wah ‎di mata orang lain terpenuhi. Pinjam sana-sini, dari mulai bank hingga ‎perorangan dia lakukan. Bertindak curang di kantor dengan me-mark up ‎anggaran dia kerjakan. Tipu sana-sini, obral janji ke mana-mana bahwa dia ‎punya proyek atau bisnis yang sangat menjanjikan, dengan harapan dapat ‎kucuran dana segar dari para investor dia jalani. Dalam benaknya, apap pun ‎akan dia kerjakan asal bisa mendatangkan uang untuk memenuhi hasratnya ‎menjaga imej.‎

Orang-orang seperti ini hanya akan terus menerus diperbudak ‎keinginannya. Dia tidak sadar, bahwa semakin dia berusaha menjaga imejnya, ‎semakin jauh dia dari dirinya sendiri. Semakin dia berambisi untuk bisa tampil ‎‎‘wah’, padahal kemampuannya sangat terbatas, semakin dia menderita.‎

So, tetaplah menjadi diri sendiri. Bersikap sewajarnya, bertindak ‎seadanya, berlaku seperlunya. Itulah kunci hidup bahagia.‎

Ruang Inspirasi, Kamis (1/10/2020)

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!