YOGYAKARTA, MENARA62.COM -Dhimas Ananda. S.Sn., M.Sn Dosen Ilmu Komunikasi UMY sukses mempresentasikan proses riset mengenai film inklusi difabel netra pada Kamis (19/6) bertempat di Hfk Bremen Jerman.
Creating Cultural Dialogues Art and Design in Transcultural Context adalah kerjasama Indonesia dan Jerman yang didukung oleh Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD) yang dilakukan pertama kalinya antara dua kampus negeri yaitu Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan University of the Arts Bremen.
Dalam kesempatannya, Dhimas yang juga mahasiswa program Doktoral ISI Yogyakarta menyampaikan rasa syukurnya dapat berpartisipasi dalam kolokium ini. “Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, dapat mengikuti kolokium di hadapan para profesor dengan sudut pandang eropa dimana teori-teori seperti Rancière dan Roland Barthes berasal. Khususnya pintu masuk dalam penelitian film inklusi difabel netra ini melalui komunikasi interpersonal yaitu equality yang didapatkan dari interview Prof. Dr. Suciati, S.Sos., M.Si sangat berguna dan bermanfaat,” ucapnya. Ia juga menyampaikan bahwa banyak masukan dari para profesor agar dapat memakai lebih banyak teori dari Asia daripada barat, karena teori-teori filosofer barat sendiri sudah mulai ditinggalkan di Jerman.
Prof. Dr. Friedrich Weltzien dari HS Hannover mengatakan penelitian film inklusi penting untuk dilanjutkan karena akan memiliki dampak yang baik. “Jangan sampai dalam proses penelitian film inklusi difabel netra ini, teman-teman netra merasa di eksploitasi dan merasa direndahkan sehingga proses inklusi menjadi diabaikan,” ucapnya.
Program ini akan berlangsung selama 14 hari yang dimulai dari 15 – 29 Juni 2025 terdiri dari kunjungan museum, festival, kota lama, kolokium, mengajar mahasiwa program sarjana dan master kemudian diakhiri dengan pameran.
Peluang-peluang pertukaran internasional seperti ini sebaiknya terus dilakukan baik oleh individu dan dukungan universitas, untuk memperkaya pengalaman dosen, mahasiswa dan meningkatkan kerjasama internasional baik secara individu ataupu institusional. (*)