26.1 C
Jakarta

Tak Sesuai Budaya Bangsa, Pakar Minta DPR Cabut Pasal Pendidikan pada RUU Cipta Kerja

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Tidak sesuai dengan budaya bangsa, sejumlah organisasi dan pakar pendidikan meminta DPR RI cabut seluruh pasal yang menyangkut bidang kebudayaan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kesepakatan tersebut mencuat pada sesi diskusi yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Rabu (9/9/2020).

Diskusi tersebut melibatkan pakar kebudayaan dan pendidikan antara lain Pembina YSNB Pontjo Sutowo, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Bappenas (2010-2014), Prasetijono Widjojo, Pakar Pendidikan yang juga Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa, Darmaningtyas, Pegiat Komunitas Literasi Ahmad Sururi Azis, Ketua Bidang Pendidikan NU Circle Ahmad Rizali, dan Ketua YSNB Wisnu Broto.

Dalam keterangan persnya, Pembina YSNB Pontjo Sutowo mengatakan bahwa sebagai organisasi yang banyak berkiprah di bidang kebudayaan, YSNB merasa pasal-pasal pendidikan pada RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan budaya bangsa.

“Kebudayaan harus diartikan secara utuh yaitu sebagai sebuah sistem nilai bangsa Indonesia, jangan hanya diartikan sempit sebagai ekspresi budaya atau produk budaya saja seperti misalnya seni dan artifak,” kata Pontjo, Jumat (11/9/2020).

Pendidikan menurutnya adalah bagian dari Kebudayaan, bukan sebaliknya. Tetapi dalam pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja, ternyata pendidikan sudah dicabut dari kebudayaan. Sehingga pasal-pasal sektor pendidikan pada RUU Cipta Kerja justru berpotensi memperlemah kualitas manusia Indonesia, padahal Indonesia harus mencetak warga negara unggul. Itu sebabnya YSNB berkepentingan mengajak berdiskusi beberapa organisasi dan pakar pendidikan sebagai bentuk keprihatinan pada pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja tersebut.

Pontjo mengingatkan bahwa banyak contoh di era modern ini ada sebuah negara yang besar dan kuat secara ekonomi dan militernya, namun karena lemah dalam budaya dia tercerai berai menjadi negara yang kecil-kecil. Sebaliknya ada sebuah negara yang kecil juga dilanda konflik atas keberadaan negara tersebut dan ekonominya pun bukan apa-apa namun bangsanya tetap eksis hingga saat ini dan terus berjuang.

“Ini memberikan contoh yang nyata/riil kepada kita tentang kekuatan budaya itu,” ujar Pontjo.

Jadi lanjut Pontjo, program pemajuan ekonomi pemerintah harus didukung semua pihak, namun pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan kebudayaan dan pendidikan. Karenanya pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan dan harus sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Sementara itu, Pengamat Pendidikan Ki Darmaningtyas mengatakan bahwa ada beberapa masalah dasar di pasal-pasal pendidikan RUU Cipta Kerja. Di antaranya adalah hilangnya frasa kebudayaan dalam sistem pendidikan nasional. Kemudian perubahan frase “prinsip pendidikan nirlaba” menjadi “dapat nirlaba”. Juga perubahan frase “ijin pendirian sekolah/perguruan tinggi” menjadi “ijin pendirian badan usaha”. Kesemua ini sesuai dengan tujuan pasal-pasal pendidikan pada RUU Cipta Kerja ini yaitu untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pendidikan dan Kebudayaan.

“Belum lagi ada pasal-pasal yang dalam UU nomor 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional  yang tadinya sudah dibatalkan MK malah sekarang dihidupkan kembali, yaitu pasal-pasal  Badan Hukum Pendidikan. Secara umum, ruh atau ideologi RUU Cipta Kerja ini adalah komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Ideologi ini diusung oleh WTO yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, bukan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga,” ujarnya.

Karpet merah pendidikan asing

WTO menempatkan pendidikan sebagai industri tersier yang sah untuk diperdagangkan, sehingga negara-negara anggota WTO dapat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan di negara-negara lain sebagai mekanisme untuk memperoleh keuntungan finansial. Semua ini tercermin dengan diijinkannya pendirian sekolah/perguruan tinggi di Indonesia sekalipun mereka belum terakreditasi di negaranya. Juga diijinkannya guru dan dosen asing untuk mengajar di Indonesia walau pun belum tersertifikasi.

“Ini semua menunjukkan pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja memberikan karpet merah untuk pendidikan asing tanpa syarat apapun,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kekayaan budaya bangsa Indonesia bisa menjadi daya tawar tersendiri untuk melakukan kolaborasi riset dengan negara-negara maju. Tapi paradigma perancang pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja menganggap kebudayaan sebagai penghalang dan penghambat pendidikan dalam berkompetisi di kancah global sehingga pasal tentang kebudayaan dihapus.

Prasetijono Widjojo dalam kesempatan itu mengakawatirkan Trisakti Bung Karno akan terganggu. Trisakti Bung Karno adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Jika kebudayaan dicabut dari pendidikan maka pembangunan manusia tidak akan berjalan.

“Jadi jangan menggeser tujuan pendidikan untuk membentuk warga negara unggul menjadi sebagai fungsi pasar saja. Lebih jauh lagi ditakutkan dalam sektor pendidikan kita hanya menjadi penonton saja di negeri sendiri,” tukasnya.

Aura pasal-pasal pendidikan dari RUU Cipta Kerja menurut Prasetyono, lebih bernuansa bisnis. Padahal pendidikan sebagai bagian dari budaya tidak bisa dipandang dari sudut ekonomi saja seperti efisiensi, untung, dan rugi, ataupun aspek keuangan lainnya.

“Seharusnya, kebijakan keuangan bersifat affirmasi terhadap pendidikan dalam kebudayaan,” imbuh Prasetyono.

Ahmad Sururi Aziz menambahkan bahwa jika kebudayaan (dalam hal ini kebudayaan Indonesia) dicabut dari pendidikan, maka kebudayaan mana lagi yang akan dipakai. Khusus mengenai tidak perlunya guru asing harus tersertifikasi, maka ini akan akan menghancurkan program sertifikasi guru yang sudah susah payah dibangun. Jika ada kekurangan maka mari diperbaiki bukan dihilangkan.

Sementara itu Ahmad Rizali mengatakan bahwa semua perubahan yang dilakukan di dalam RUU Cipta Kerja, pasal per pasal, memiliki filosofi korporasi dan industrialisasi sehingga kebijakan pendidikan nasional disamakan dengan dunia bisnis. Pendekatan pembangunan manusia Indonesia tidak ada bedanya dengan mendirikan perusahaan yang menjadikan murid dan mahasiswa sebagai komoditas yang diproduksi di pabrik dan perdagangkan di pasar bebas. Ia mengingatkan, amanat Pembukaan UUD 1945 sangat tegas mengamanatkan, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan memasukkan pasal-pasal di bidang pendidikan ke dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah dinilai ingin melepas tanggung jawabnya dalam mencerdaskan bangsa.

“Jika pasal-pasal di bidang pendidikan ini tetap dimasukan ke dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja, sejatinya pemerintah dan DPR RI telah tidak sejalan lagi dengan para pendiri bangsa dan Konstitusi Dasar NKRI,” tambah Ahmad Rizali.

Wisnu Broto, Ketua YSNB, mengharapkan bahwa seluruh stackholder bidang pendidikan ikut serta memikirkan dan memberi kontribusi dalam saran-saran yang membangun kepada legislatif dan eksekutif agar di dapat solusi yang terbaik tentang masalah pasal-pasal pendidikan di RUU Cipta Kerja tersebut.

Pada diskusi tersebut, para peserta pada dasarnya tidak mempermasalahkan Omnibuslaw atau yang sering disebut UU sapu jagat atau UU payung. Mereka menilai Omnibuslaw baik karena ingin mensolusikan banyak hal secara integral menyeluruh atau komprehensif seluruh aspek, tidak parsial per sektor yang memungkinkan saling tumpang tindih. Mereka hanya mempermasalahkan pasal-pasalnya saja yang tidak sesuai lagi dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!