33 C
Jakarta

TPA di Era Covid

Baca Juga:

Oleh. Ashari, S.IP*

Fenomena kehilangan generasi paska TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) ini bisa terjadi di mana-mana. Memang ada satu dua TPA yang masih konsen menjaga keberlanjutan kegiatan ini hingga anak-anak dewasa. Terlebih di era Covid-19 ini. Namun bagi TPA yang ‘bernafas pendek’ tentu akan ngos-ngosan untuk dapat melanjutkan pendidikan berikutnya. Kendalanya biasanya terletak pada tenaga guru (ustad/ustadzah) yang jumlahnya relatif terbatas. Karena menikah, bekerja di daerah lain, hingga pada simpul regenerasi mati. Tenaga yang pas-pasan, ditambah dengan  manajemen  ‘sambil lalu’  menyebabkan TPA tidak dapat maksimal. Bersyukur belakangan ada bantuan operasional untuk TPA dari Kemenag Rp10 juta/TPA. Memang belum semua kena sasar, namun BOP, cukup membantu.

TPA di era Covid-19, memerlukan penangangan yang berbeda. Misal daring, saya  setuju. Namun dalam pelaksanaanya perlu kebersamaan diantara steakholder yang ada. Semua orang menyadari bahwa generasi Qurani menjadi dambaan umat. Namun untuk mewujudkannya tidak semua orang/warga mempunyai tekad kuat yang sama. Beberapa langkah solutif.

Pertama. Tokoh masyarakat dan pemuka agama  (tomas dan togas) duduk bersama.  Ini langkah penting, karena untuk menyamakan visi dusun kedepan, lima atau sepuluh tahun yang akan datang dalam bidang agama. Dengan kesamaan visi ini, maka akan ditemukan beberapa solusi kedepan. Misalnya masalah pemahaman yang relatif sama bagi orang tua santri akan pentingnya pendidikan agama sejak dini, termasuk didalamnya adalah iqra/baca tulis quran. Kalau orang tua sudah mempunyai keinginan yang sama, maka dorongan kepada anak akan lebih mantap dan termotivasi dari dalam diri keluarga itu sendiri. Sebab kalau orang tua sudah abai, tidak lagi peduli dengan kepentingan TPA bagi anak-anaknya.

Kedua. Musyawarah tersebut ternyata bisa merambat kepada pembicaraan penambahan pengasuh dan pencarian donatur tetap. Sekarang ini sudah menjadi kendala umum di hampir semua TPA adalah miskinnya pengasuh tetap yang on time. Seolah pengasuh TPA kini menjadi ‘makhluk langka” yang susah dicari. Musyawarah yang lain adalah membicarakan masalah keuangan. Untuk pengembangan dan  membeli seperti buku buku iqra, media untuk bermain, bahkan kalau memungkinkan adalah seragam santri.  Problem guru TPA dapat dipecahkan kerjasama dengan Badko (Badan Koordinasi) TPA Daerah ( Kabupaten) sebagai lembaga yang menaungi TPA ditingkat desa atau dusun. Biasanya Badko mempunyai stok guru yang relatif banyak untuk dapat disalurkan ke TPA-TPA yang membutuhkan.Jika problem ini sudah dipecahkan, maka langkah berikutnya terkait dengan keuangan, pengelola dapat bekerjasama dengan takmir setempat, minta bantuan donator dan mengajukan ke Kabupaten Cq. Dinas Sosial atau yang sejenisnya.

Kendala yang muncul dikalangan remaja usia SMP- SMA biasanya kalau kita tanya alasannya mengapa mereka tidak mengaji lagi? adalah sibuk. Sibuk sekolah, banyak tugas, terus kapan mainnya? Kalau sudah begitu, maka ajak dialog mereka dengan baik-baik. Jangan dinasehati apalagi dimarahi. Masa remaja hanya sekali dan sebentar kalau tidak dimanfaatkan rugi. Bagi pengasuh inilah riil dakwah yang ada ditingkat bawah ( grass root).

Ketiga. Secara berkala, kalau TPA sudah mulai berjalan, adakan pertemuan dengan wali santri. Misal sebulan sekali. Gandeng tokoh-tokoh masyarakat dan agama, juga para donatur tadi. Tunjukkan hasil yang sudah mulai diperoleh. Disamping pemahaman yang lain, misalnya hafalan bacaan sholat, hafalan wudhu, doa-doa sampai kepada nyanyian islami yang sederhana. Tidak sedikit orang tua yang akan trenyuh hingga meneteskan air mata, ketika melihat anak kecil yang belum begitu jelas bicaranya sudah hafal surat-surat pendek, sudah hafal bacaan sholat, sudah bisa sholat dengan gerakan yang relatif  benar

Keempat. Jaga konsistensi. Jadwal yang sudah disepakati untuk TPA, harus ditaati. Apakah seminggu cukup sekali. Sesuai dengan Protap Kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah. Kalaupun toh, ada waktu libur, maka pengelola musti memberi tahukan kepada orang tua wali. Jangan sampai santri pulang menangis, karena sudah semangat datang – sampai masjid tidak ada gurunya. Maka dia akan kecewa. Kekecewaan ini akan tembus kepada orang tua santri. Kepercayaan yang sudah diberikan, lambat laun akan berangsur pudar. Bak mencabut pohon bambu dari ujung. Sulit untuk memulai. Untuk penyegaran bisa melakukan study banding ke TPA lain yang  lebih maju. Setelah kondusif.

(Penulis, Pengajar TPA di Masjid Al-Hidayah Murangan 7 Triharjo Sleman DIY)

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!