28 C
Jakarta

Buka Munas Tarjih XXX, Haedar Nashir Bicara Politik Uang

Baca Juga:

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir saat memberikan sambutan dalam Pembukaan Munas Tarjih XXX, Rabu 24 Januari 2018

MAKASSAR, MENARA62.COM– Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir membuka secara resmi Musyawarah Nasional Tarjih XXX, Rabu, 24 Januari 2018 di Balai Sidang Muktamar Kampus Unismuh Makassar.

Dalam sambutannya, Haedar menyinggung fenomena politik uang yang saat ini menjadi kelaziman dalam praktik berpolitik di negeri ini.

Haedar menyebut politik uang hanya fenomena hilir. Seharusnya, ungkap Haedar, fenomena politik tersebut dibaca secara holistik dari proses hulu.

Menurut Haedar, politik demokrasi di Indonesia sebagai hulu pertama, dijalankan secara sangat liberal, melebihi negara lain. Hal ini tidak salah, hanya saja di tengah praktik politik liberal ini, masyarakat Indonesia tidak siap secara kultur.

“Jadi ada semacam kesenjangan alam pikiran di mana demokrasi prosedural sebagai pilihan sistem kita berpolitik sudah cukup maju langkahnya, tapi mentalitas, alam pikiran bangsa Indonesia itu belum ke sana,” ungkapnya.

Haedar, meminjam teori kebudayaan politik, juga mengungkapkan politik bangsa ini masih terjebak dalam politik patrimonial dan politik parokhial. Orang Indonesia lebih mengandalkan rasa dan kebiasaan sehingga daya kritis yang cerdas belum sepadan.

“Orang Indonesia kira-kira begitu. Dalam bahasa lainnya, demokrasinya sudah matang, tetapi orangnya belum akil balig. Di sinilah letak kesenjangannya,” tambahnya.

Karena itu, lanjut Haedar, Muhammadiyah, baru-baru ini telah melahirkan dua buku, sebagi upaya edukasi dan kritik.

Muhammadiyah telah menerbitkan dua buku yaitu Visi karakter bangsa dan Indonesia Berkemajuan. Sebenarnya buku ini sebagai kritik terhadap proses politik hulu yang liberal yang sudah dibuka terlalu lebar pada masa Amandemen UUD 1945,” ungkapnya.

Pendidikan politik, lanjut Haedar, menjadi niscaya untuk antisipasi hal ini. Beber Haedar, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi otonomnya telah melakukan edukasi politik ini.

Muhammadiyah, ‘Aisyiyah telah melakukan pendidikan politik ini. Tetapi tidak gampang,” ungkapnya.

Hal yang menantang dalam pendidikan politik kini, ungkap Haedar, adalah mentalitas politik bangsa Indonesia yang patrikomunal dan parokial sehingga melahirkan politik instan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah yang juga sosiolog ini menyebut bahwa praktik politik di negeri ini turut dikuasai oleh elite lokal yang menguasai umat.

“Elite-elite lokal yang menguasai umat, saya tidak menyebut institusinya- institusinya, dia akan selalu dalam istilah sosiologinya, mengkodifikasi, atau dalam istilah ekonominya, mengkomiditikasikan, menjual-belikan harga umat sebagai konstituen untuk selalu ditawar belikan kepada kekuatan politik mana pun,” jelasnya.

Ia melanjutkan, bayaran bagi jual-beli suara umat tersebut adalah uang atau nilai barang yang selalu memberi nilai lebih bagi elite lokal. Mirisnya, elite lokal tersebut mendapat keuntungan banyak sementara rakyat sama sekali tidak diuntungkan.

“Suka begini, elite mengatasnamakan umat, tokoh Islam kan suka begitu. Atas nama umat Islam saya akan, nah gitu kan, padahal dia aja. Ini menjadi bahan komoditas,” ungkapnya.

Rakyat yang sama sekali tidak diuntungkan selanjutnya akan ikut tertarik menjual-belikan, sehingga lahirlah transaksi sosial-politik baru di tengah praktik politik masyarakat.

Untuk membincang mendalam perihal praktik politik transaksional ini, ungkap Haedar, Muhammadiyah akan menghadirkan Prof. Din Syamsuddin, sore hari ini.

Agenda ini masih dalam rangkaian Munas Tarjih XXX Muhammadiyah. Tujuannya, ungkap Haedar, sebagai edukasi dan pemahaman kepada warga dan kader Muhammadiyah serta masyarakat umum tentang politik transaksional.

Seminar oleh Prof. Din Syamsuddin, Mantan Ketua PP Muhammadiyah dan Mantan Ketua MUI ini, dibuka bagi umum. Seminar dilaksanakan di Balai Sidang Muktamar Kampus Unismuh Makassar, sore ini, Rabu, 24 Januari 2018.

(Fikar)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!