Ada dua agenda besar di Indonesia yang selalu melihat jumlah orang yang meninggal sebagai salah satu ukuran kesuksesan, yaitu mudik dan haji. Tentu yang dimaksud bukan berarti semakin banyak yang meninggal semakin sukses, tetapi adalah sebaliknya, semakin sedikit yang meninggal maka dianggap semakin sukses. Setiap mudik, hampir selalu ada evaluasi berapa jumlah orang yang meninggal selama proses mudik dan apa yang menjadi penyebabnya.
Pemerintah berkepentingan untuk bisa meminimalisir jumlah orang yang meninggal selama proses mudik. Tentu, orang meninggal selama mudik dan arus baliknya bisa karena bermacam-macam sebab. Ada karena faktor kecelakaan lalulintas, kelelahan, sakit, dan sebagainya. Tapi pemerintah tidak pernah berpikir, untuk membiarkan jumlah korban meninggal dalam proses mudik bertambah banyak, apapun penyebabnya.
Pemerintah pasti akan melakukan evaluasi, atau bahkan penyelidikan jika suatu waktu jumlah yang meninggal melebihi dari kebiasaannya. Jumlah orang yang meninggal selama mudik, bukan sekedar data statistik yang didiamkan saja. Didalamnya, banyak data dan fakta yang bisa dipelajari dan diselidiki, terutama untuk perbaikan waktu yang akan datang.
Hal yang sama juga terjadi dalam penyelenggaraan ibadah Haji. Karena ibadah Haji adalah ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik, maka tidak mustahil jika ada di antara jamaah yang wafat. Apalagi saat ini jamaah haji lebih banyak diisi oleh usia lanjut mengingat daftar antrian keberangkatan haji yang cukup panjang.
Meskipun demikian, Pemerintah mengupayakan agar jamaah haji yang meninggal jumlahnya bisa ditekan. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat jamaah tidak kesulitan dan kelelahan dalam melaksanakan ibadah, termasuk menyiapkan asrama yang lebih dekat dan nyaman, transportasi yang baik, tenaga medis yang memadai, dan sebagainya.
Baik mudik maupun haji adalah aktivitas yang sangat berhubungan dengan resiko kematian sehingga memang harus dipersiapkan dan diantisipasi agar mengurangi risiko tersebut.
Masalah kematian, apapun alasannya, kita tidak boleh abai dan lalai. Kematian memang takdir, tetapi jika kematian itu terjadi karena kecerobohan, kelalaian, atau akibat ketidaksiapan perencanaan sehingga menimbulkan risiko kematian haruslah dihindari. Kita seharusnya tidak ada toleransi atas kematian seorang pun warga Indonesia atas dasar akibat ketidakprofesionalan kerja.
Saat ini kita mendapati kenyataan bahwa ada lebih dari 500 orang petugas Pemilu meninggal dunia akibat pekerjaannya. Tentu tidak bijak jika kita berlindung dengan data statistik bahwa jumlah itu terlalu kecil dibanding jumlah petugas yang jumlahnya 5 juta lebih, apalagi dengan argumentasi bahwa jumlahnya masih jauh di bawah angka mortalitas penduduk Indonesia.
Cobalah berempati dengan mereka yang kehilangan suami, istri, orang tua, atau anaknya. Harusnya, karena menjadi petugas Pemilu dianggap pekerjaan yang berisiko terhadap kematian, sudah sewajarnya jika ada pengkajian ulang, penelitian, bahkan penyelidikan atas kematian petugas KPPS tersebut. Ini diperlukan selain untuk pelajaran bagi pelaksanaan Pemilu yang akan datang, juga sekaligus sebagai komitmen kita untuk melindungi segenap warga Indonesia, sebagai amanat pembukaan konstitusi kita.
Kedepan, sebagaimana indikator untuk menilai kesuksesan mudik dan haji, sudah sepantasnya jika jumlah kematian petugas Pemilu menjadi salah satu indikator suksesnya penyelenggaraan Pemilu. Jika jumlahnya bisa diminimalisir maka Pemilu dianggap sukses dan sebaliknya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran.
Penulis: Muhammad Izzul Muslimin