26.2 C
Jakarta

Koperasi Merah Putih: Mimpi Besar yang Perlu Akar Nyata

Baca Juga:

Oleh: Budiawan, KAM Institute

 

JAKARTA, MENARA62.COM – Di tengah harapan besar untuk membangun ekonomi rakyat, Presiden Prabowo menggulirkan program Koperasi Merah Putih. Sebuah inisiatif ambisius yang diniatkan untuk membebaskan masyarakat desa dari jeratan rentenir, pinjol ilegal, dan praktik ekonomi eksploitatif. Namun seperti semua gagasan mulia, kekuatan sebuah program tidak hanya ditentukan oleh niat, melainkan juga oleh struktur, metode, dan nilai-nilai yang mendasarinya.

 

“Koperasi bukan hanya badan usaha, tetapi suatu bentuk pendidikan sosial dan ekonomi rakyat.”

Dr. Mohammad Hatta,  Bapak Koperasi Indonesia

 

Jika dibandingkan dengan koperasi-koperasi pangan progresif seperti BriarPatch di California, Park Slope di New York, atau People’s Food Co-op di Minnesota, maka sejumlah kelemahan mendasar dari Koperasi Merah Putih mulai terlihat:

 

1. Terlalu Terpusat, Terlalu Negara-Sentris

 

Salah satu kelemahan utama dari Koperasi Merah Putih adalah pendekatannya yang top-down dan sangat negara-sentris. Ia lahir sebagai produk kebijakan, bukan gerakan warga. Sebagian besar pengurus adalah aparatur desa atau ASN lokal, yang seringkali menjalankan koperasi sebagai perintah administratif, bukan karena keyakinan ideologis atau semangat pemberdayaan.

 

“Koperasi harus timbul dari bawah, bukan dari atas. Ia harus tumbuh dari dalam hati rakyat sendiri.”

Mohammad Hatta

 

Tanpa roh partisipasi rakyat, koperasi berubah menjadi “biro jasa” pinjaman yang kehilangan semangat kolektifnya.

 

2. Tidak Ada Ruang bagi Demokrasi Ekonomi Sejati

 

Koperasi Merah Putih belum sepenuhnya menjamin hak suara anggota secara adil dan aktif. Dalam banyak kasus, keterlibatan warga hanya diminta saat launching dan rapat formalitas, bukan dalam pengambilan keputusan strategis.

 

“Demokrasi ekonomi adalah jalan tengah antara liberalisme dan sosialisme ekstrem, di mana kepemilikan dan pengambilan keputusan berada di tangan rakyat sendiri melalui koperasi.”

Prof. Sri-Edi Swasono, ekonom kerakyatan dan menantu Bung Hatta

 

3. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas

 

Tanpa sistem transparansi keuangan yang jelas dan tanpa audit independen yang terbuka, koperasi bisa menjadi alat manipulasi elite lokal. Berbeda dengan koperasi progresif di negara lain yang secara berkala membuka laporan dan kebijakan internal mereka ke publik.

 

“Kepercayaan adalah modal terbesar dalam koperasi. Tanpa kepercayaan, tak ada solidaritas.”

Frans Seda, ekonom dan mantan Menteri Keuangan

 

4. Kredit-Oriented, Bukan Ekosistem Produksi

 

Koperasi Merah Putih sejauh ini masih terlalu fokus pada fungsi pembiayaan atau pinjaman, bukan pengembangan ekosistem produktif warga. Ini menempatkan koperasi hanya sebagai “bank kecil”, bukan sebagai pusat ekonomi komunitas.

 

“Koperasi bukan untuk meminjamkan uang semata, tapi untuk membentuk karakter mandiri rakyat.”

Mohammad Hatta

 

5. Risiko Formalisasi Tanpa Jiwa

 

Target membentuk 80.000 koperasi tanpa dukungan sistemik terhadap pendidikan anggota, digitalisasi, dan pendampingan hanya akan menciptakan koperasi administratif belaka.

 

“Perekonomian Indonesia tidak akan kuat bila diserahkan pada pasar bebas dan perusahaan besar saja. Koperasi adalah kekuatan ekonomi yang membumi.”

Dr. Emil Salim, ekonom senior dan mantan Menteri Lingkungan Hidup

 

Rekomendasi dan Koreksi Jalan

 

Agar Koperasi Merah Putih tidak menjadi proyek politis semata, perlu koreksi arah dan penguatan jati diri:

 

Beri ruang bagi inisiatif rakyat, bukan intervensi birokrasi.

Fokus pada produksi rakyat, bukan sekadar kredit.

Bangun koperasi sebagai sekolah kehidupan ekonomi, bukan hanya struktur legal.

Latih generasi muda jadi pegiat koperasi digital, koperasi kreatif, dan koperasi pangan.

 

Penutup: Jalan Sunyi, Tapi Tak Sendiri

 

Mohammad Hatta pernah berkata bahwa koperasi adalah “alat untuk memperbaiki nasib rakyat yang harus dijalankan oleh rakyat sendiri”. Jika Koperasi Merah Putih ingin dikenang sebagai warisan besar, bukan kegagalan besar, maka ia harus kembali ke filosofi dasarnya: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

 

“Kita tidak sedang membangun koperasi karena trend atau program. Kita sedang membangun peradaban ekonomi baru.”

Prof. A. Sonny Keraf, pakar etika ekonomi dan pembangunan berkelanjutan

 

Referensi:

1. Mohammad Hatta, Demokrasi Kita & Kumpulan Pidato tentang Koperasi

2. Prof. Sri-Edi Swasono, Ekonomi Berdasarkan Pancasila

3. Dokumentasi BriarPatch Co-op dan Park Slope Co-op

4. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

5. Laporan Kementerian Koperasi dan UKM RI

6. Edhy Aruman, “Koperasi Pemimpi: BriarPatch dan Gerakan Pangan Lokal”

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!